BANTENRAYA.COM – Petinggi Partai Gelora Fahri Hamzah mengkritisi keimigrasian Singapura yang mendeportasi Ustad Abdul Somad dan rombongan yang hendak berlibur.
Kritikan terhadap keimigrasian Singapura yang mendeportasi Ustad Abdul Somad, ditulis Fahri Hamzah melalui akun Twitternya @Fahrihamzah.
Lewat akun Twitternya, Fahri Hamzah tidak hanya mengkritisi tetapi memberikan penjelasan tentang sistem keimigrasian baik di negara Indonesia ataupun di negara lain secara keseluruhannya.
Mengawali cuitannya, Fahri Hamzah mengutip UU Imigrasi Nomor 6 Tahun 2011, di mana dinyatakan bahwa Indonesia telah menerapkan seluruh konvensi dan aturan Internasional yang menjunjung tinggi HAM dalam keimigrasian.
Baca Juga: Dea OnlyFans Ngaku Hamil 23 Minggu, Warganet Sebut Kecelakaan Kerja
“Bahkan di beberapa pintu imigrasi memakai teknologi yang tidak perlu lagi ada pertemuan petugas dengan melintas batas,” tulis Fahri Hamzah.
Kemudian, Fahri Hamzah mengatakan dalam prinsip keimigrasian modern tugas penjaga perbatasan imigrasi hanya memastikan kelengkapan dokumen.
“Dia tidak memeriksa ceramah atah pandangan politik orang apalagi yang disampaikan di majelis-majelis keilmuan,” ujar Fahri Hamzah.
Ia menambahkan dalam keimigrasian perbatasan cukup pakai cap jari atau pengenal wajah.
Baca Juga: Klik Disini! Kumpulan Ucapan Hari Museum Internasional 2022 Gratis, Cocok Dibagikan di Media Sosial
Sedangkan dalam keimigrasian kuno, kata mantan Wakil Ketua DPR 2014-2019, pelintas batas sangat bergantung pada penerimaan politik negara tujuan.
Ketergantungan ini, menurut Fahri sangat subjektif dan tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip umum tentang HAM.
“Tentang perjalanan dari satu titik ke titik lain. Itulah sebabnya kelengkapan administrasi bukan segalanya,” ungkap Fahri.
Lebih jauh Fahri menerangkan jika ada negara di ASEAN khususnya yang telah menyepakati perjalanan tanpa visa harus mengumumkan kepada semua negara ttangganya daftar orang yang mereka tolak masuk karena alasan politik.
“Hal ini untuk menghindari adanya insiden penolakan oleh petugas imigrasi setempat,” imbuhnya.
Baca Juga: 1.600 Lulusan SLTA Ikut UTBK 2022 Masuk PTN di Banten
Untuk kasus UAS, Fahri mengatakan bahwa beliau sering melakukan ceramah di Brunei maupun Malaysia dan diterima baik di kedua negara tersebut.
Sehingga apabila ada negara yang menolak UAS, Fahri mengartikan ada persoalan politik yang harus dijelaskan.
“Artinya persoalan politik dalam negeri negara yang menolaknya perlu dijelaskan karena itu harus menjadi pandangan bersama negara ASEAN,” tuturnya.
Fahri menyatakan bahwa menolak perjalanan pribadi seorang biksu Myanmar atau pendeta Singapura atau Ustadz Indonesia bukanlah sebuah tindak keimigrasian yang beradab.
“Apalagi jika perjalanan itu murni perjalanan wisata dengan perempuan dan anak bayi dibawah 1 tahun,” ucapnya.
Baca Juga: PBVSI Kabupaten Serang, Mulai Dapat Skuat untuk Porprov Banten
Dengan tegas Fahri mengatakn bahwa tindakan Singapura yang mendeportasi UAS merupakan tindakan tak beradab dan melanggar nilai-nilai dasar ASEAN.
“Ini melanggar nilai-nilai dasar ASEAN,” pungkasnya.***



















