BANTENRAYA.COM – Fenomena tingginya harga emas menjadi salah satu indikator penting, dimana kondisi tersebut membuat perekonomian dalam kondisi menuju jurang krisis.
Seperti yang terjadi pada tahun 1973 di Indonesia, harga emas mengalami peningkatan drastis dari harga Rp42 menjadi Rp2.000 per gram pada tahun 1975.
Saat itu terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh embgaro minyak mentah yang dilakukan negara di Timur Tengah terhadap negara-negara Barat termasuk Indonesia.
Baca Juga: Program 100 Hari dan Pemkot Masih Jalan di Tempat, Robinsar Ungkap Permohonan Maaf
Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Provinsi Banten Fadly Fatah mengatakan, kondisi itu serupa dengan yang terjadi saat ini, dimana ada fenomena saham turun dan emas mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
“”Emas merupakan aset keuangan yang punya risiko rendah atau paling aman, jika terjadi krisis ekonomi, umumnya secara teori banyak pemilik dana ataupun pengelola dana mengalihkan dananya ke emas,” kata Fadly dalam agenda media gathering, Senin 21 April 2025.
Menurut Fadly, tingginya harga emas saat ini disebabkan karena fenomena yang terjadi di Amerika Serikat, dimana investor melepas asetnya di pasar saham dan obligasi pemerintah.
Baca Juga: Usai Lebaran Sektor Properti di Banten Hadapi Tekanan Ekonomi Global
“Ini juga jadi hal yang baru, biasanya investor lepas saham larinya ke obligasi karena ini jadi instrumen yang aman namun nyatanya tidak. Mereka malah menahan untuk dijadikan cash, dan sebagian lainnya membeli emas di berbagai negara,” cakapnya.
Dengan demikian, para investor terlihat memiliki keraguan untuk melakukan pengelolaan dana di negara tersebut.
Sebaliknya, jika kondisi ekonomi membaik, investor saham akan mengalami peningkatan, serta harga emas kembali tren yang stabil atau bahkan turun.
Baca Juga: Spoiler Drakor The Divorce Insurance Episode 7 dengan Link Nonton Sub Indo Full Movie
“”Kemarin di 8 April emas sempat naik tinggi dan saham turun dalam, tapi saat ini saham sudah rebound dan harga emas kembali turun dan mulai stabil setelah kebijakan tarif Amerika di pause selama 90 hari, menjadi tanda-tanda kekhawatiran investor akan terjadinya resesi mulai mereda,” ujar Fadly.
Untuk mengukur tingkat ekonomi secara makro, indikasi pentingnya ialah tidak terlepas dari perpindahan aset, selama aset tersebut masuk dalam sektor tertentu, dapat dipastikan perekonomian akan bergeliat.
“Perputaran uang di Indonesia ini ada sekitar Rp2 ribu triliun atau 1,4 triliun US Dolar, sementara di dunia ini perputarannya Rp100 triliun US Dolar, kalau saja bisa masuk ke Indonesia 1 triliun US Dolar kesejahteraan kita bisa meningkatkan dua kali lipat, itu yang sedang kita upayakan agar tertarik berinvestasi,” jelas Fadly.
Baca Juga: Tim Forensik Ragukan Kehamilan Korban Mutilasi di Gunungsari: Rahimnya Kosong!
Sebagai perbandingan, di Singapura dengan perekonomian yang lebih maju, transaksi saham hariannya mampu mencapai Rp20 triliun, sementara di Indonesia baru sebesar Rp12 triliun.
“Warren Buffett sudah masuk ke Singapura, tapi ke Indonesia belum, meski merupakan instrumen yang mudah untuk keluar masuk, penting juga untuk direct investment berupa gedung dan aset lainnya. Minimal investor tertarik melihat saham dengan tingkat likuiditas yang baik,” kata Fadly.***