BANTENRAYA.COM– Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Banten berkolaboraai untuk menyiapkan strategi besar dalam menjawab persoalan minimnya jumlah dokter spesialis di daerah.
Melalui kolaborasi lintas sektor, Pemprov Banten menargetkan mulai menjalankan pendidikan dokter spesialis lewat dua jalur yakni, universitas dan hospital based study atau pendidikan berbasis rumah sakit pada tahun 2026 mendatang.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, dr. Ati Pramudji Hastuti, mengatakan peningkatan jumlah dan sebaran tenaga dokter, khususnya dokter spesialis, menjadi salah satu turunan program prioritas unggulan Gubernur Banten dalam bidang kesehatan.
BACA JUGA: Sidak Pasar Badak, Pemkab Pandeglang Pastikan Harga Pangan Stabil
Tujuannya, agar setiap daerah di Banten memiliki tenaga medis spesialis yang merata dan mudah diakses masyarakat.
“Salah satu program prioritas unggulan Bapak Gubernur adalah bagaimana meningkatkan kapasitas dan sebaran tenaga dokter, khususnya dokter spesialis. Saat ini kami punya beberapa mekanisme untuk mencapainya,” ujar Ati, Rabu, (22/10/2025)
Ia menjelaskan, saat ini terdapat lima fakultas kedokteran di wilayah Banten yang tengah menyiapkan diri untuk membuka program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
“Kelima dekan fakultas ini sedang roadshow untuk mempersiapkan fakultasnya agar bisa dijadikan pusat pendidikan dokter spesialis dalam mendukung program tersebut,” katanya.
Selain jalur universitas, Pemprov Banten bersama Kementerian Kesehatan juga sedang menyiapkan sistem pembelajaran berbasis rumah sakit.
“Jadi nanti, dokter spesialis bisa dicetak lewat dua mekanisme: jalur universitas dan jalur rumah sakit. Saat ini kami sedang menyiapkan beberapa rumah sakit di Banten, salah satunya RSUD Kabupaten Tangerang untuk mencetak dokter spesialis anak,” jelas Ati.
Ati menegaskan, program ini diharapkan dapat mulai berjalan pada 2026. Melalui sistem hospital based, para dokter tidak hanya belajar tetapi juga bekerja langsung di rumah sakit.
“Artinya, mereka bekerja sekaligus sekolah. Jadi tetap mendapat gaji karena bekerja, tapi juga terdidik di rumah sakit tersebut,” ujar Ati.
Ati menyampaikan, menjadi dokter spesialis bukan hal yang mudah. Selain seleksi yang ketat, waktu pendidikan yang panjang dan biaya yang tinggi menjadi kendala tersendiri.
“Dari sekian banyak yang mendaftar, hanya empat sampai tujuh orang yang diterima per angkatan. Prosesnya juga lama, sekitar lima sampai enam tahun, dan memerlukan biaya yang besar,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Ati, pemerintah bersama Kementerian Kesehatan mencari alternatif dengan membuka jalur hospital based study. Pola ini dinilai lebih realistis dan efektif dalam mempercepat ketersediaan tenaga dokter spesialis di daerah.
“Harapannya, tahun 2026 kita sudah siap menjalankan sistem hospital based di beberapa rumah sakit di Banten,” tambahnya.
Ati juga menuturkan, terkait kebutuhan dokter di wilayah selatan Banten, ia memastikan bahwa semuanya sudah dipetakan.
“Sudah kami inventarisasi. Untuk jalur universitas, seperti di Untirta, kami juga dorong agar segera membuka program spesialis. Dekan Untirta pun sudah menjadi salah satu dewan pakar IDI Banten,” katanya.
Menurutnya, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menargetkan pembukaan dua hingga tiga program spesialis terlebih dahulu sebagai tahap awal.
“Kami harapkan bisa dimulai tahun 2026, tapi kalau belum memungkinkan, mungkin tahun 2027. Yang penting kita sudah mulai dari sekarang,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua IDI Provinsi Banten periode 2025–2028, dr. Mohammad Rifky, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Pemprov Banten tersebut. Ia menegaskan, IDI siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam memperluas jangkauan tenaga medis di seluruh wilayah Banten.
“IDI Banten dengan 13.000 dokter akan berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Banten, khususnya Dinas Kesehatan, untuk memajukan sektor kesehatan. Kami akan bantu sekuat tenaga agar dokter-dokter ini bisa melayani masyarakat di seluruh wilayah Banten, bukan hanya menumpuk di Tangerang,” ujar Rifky.
Rifky mengatakan, IDI Banten memiliki 34 perhimpunan dokter spesialis yang siap terlibat aktif dalam pemerataan tenaga medis.
“Para ketuanya sudah berkomitmen untuk membantu pengadaan dokter di wilayah yang masih kekurangan. Tentunya ini dilakukan bersama pemerintah, termasuk soal penghargaan dan insentif bagi para dokter,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini Pemprov Banten juga telah memberikan dukungan yang baik kepada tenaga medis melalui apresiasi-apresiasi. Sehingga, Ia menegaskan, kemandirian daerah dalam mencetak dokter menjadi kunci pemerataan layanan kesehatan.
“Setahu kami, penghargaan dari Pemprov Banten sudah lumayan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bergerak. Sekarang tinggal bagaimana kita melaksanakan di lapangan,” ujarnya.
“Kita harus pastikan produksi dokter umum cukup, lalu dilanjutkan dengan membuka pendidikan dokter spesialis, terutama di Untirta. Kalau Banten bisa melahirkan dokter spesialis dari daerah sendiri, pemerataan tenaga medis di kabupaten dan kota akan jauh lebih mudah,” tambah Rifky. ***