BANTENRAYA.COM – Sistem pendidikan di pondok pesantren salafi di Provinsi Banten secara umum menerapkan sistem yang membiarkan para siswa atau santri berkembang sesuai dengan kemampuan mereka.
Santri tidak diberikan target harus naik kelas, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dan tanpa tekanan.
Puluhan santri Pondok Pesantren Riyadhul Awamil di Kota Serang melantunkan sholawat Nabi Muhammad SAW di salah satu sudut pesantren, Sabtu 26 Oktober 2024 malam. Aktivitas ini, yang sering dikenal dengan dalail, rutin dilakukan santri pondok pesantren salafi ini setiap Jumat malam. Tidak ada klasifikasi kelas di pondok pesantren ini, semua santri berbaur dan belajar bersama-sama, kecil maupun besar.
Ustadz Anwarudin, Pengasuh Pondok Pesantren Riyadhul Awamil, mengatakan, sistem belajar di pesantrennya sama seperti pondok pesantren salafiyah pada umumnya yang ada di Provinsi Banten.
Semua santri belajar kitab yang sama pada waktu dan tempat yang sama. Tidak ada sistem kelas dalam pesantren salafi sehingga tidak ada istilah naik kelas atau tidak naik kelas.
“Pokoknya semua rata,” ujar Anwarudin.
Baca Juga: Di Cibaliung Ada Situs Nyi Jompong, Tempat Wisata Alam Tersembunyi di Pandeglang
Karena itu, ketika ada santri baru yang baru masuk, tidak ada pelajaran khusus yang diberikan. Santri baru harus mengikuti kegiatan belajar yang sedang berjalan bersama dengan santri senior sambil menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di pesantren.
Agar bisa sedikit mengejar ketertinggalan dibandingkan dengan yang lain, santri baru hanya diminta untuk menghafal barjanji dan doa ziarah kubur.
Di pesantren yang dipimpinnya pun tidak ada PR seperti di sekolah. Jika ingin menguji kemampuan santrinya apakah ingat dengan pelajaran sebelumnya, Anwarudin hanya akan menanyai para santri akan pelajaran sebelumnya di pelajaran saat ini. Itupun tidak sering, hanya seminggu dua kali.
Selain tak ada kelas, tidak ada pula ujian di pertengahan tahun atau di akhir tahun. Semua santri diminta dengan sendirinya untuk mengukur kemampuan masing-masing terhadap setiap pelajaran yang disampaikan guru. Itupun bukan peraturan yang tertulis namun sudah dimengerti oleh semua santri.
Lalu bagaimana menilai seorang santri sudah berhasil dalam belajar? Anwarudin mengungkapkan, penilaian pada kemampuan santri dilakukan dengan menguji langsung santri.
Misalnya, meminta santri membaca kitab kuning yang dikenal dengan kitab gundul atau kitab yang tulisan bahasa Arabnya tanpa harakat. Bagi santri yang belum paham ilmu alat yang dikenal dengan ilmu nahwu dan shorof, maka seorang santri pasti akan melakukan kesalahan saat membaca tulisan Arab gundul itu.
Baca Juga: Pandeglang Rawan Diterjang Bencana Alam Selama Pilkada 2024, Berikut Data Kerawanan Bencana
“Kalau umpamanya dia udah nggak salah baca kitab, minimal harokat jabar jernya (fathah kasroh-red) oh berarti dia sudah ngerti,” jelas dia.
Selain tidak ada sistem kelas, tidak ada ujian dan tidak ada PR, untuk waktu belajar di pondok pesantren di Riyadhul Awamil juga lebih lama dibandingkan dengan waktu belajar di sekolah umum. Bila sekolah umum menghabiskan waktu belajar kurang lebih selama 6 jam, di pesantren salafi jauh lebih dari itu. Hanya saja waktunya tidak terus-menerus karena diselingi dengan aktivitas seperti istirahat, memasak, makan, bahkan tidur.
Para santri biasa memulai aktivitas sejak mulai subuh diawali dengan nadzom-an. Setelah itu dilanjutkan dengan mengaji al Quran hingga pukul 08.30 disusul dengan ngaji sorogan atau ngaji bersama hingga pukul 10.00.
“Kalau sudah jam 10 itu urusan santri. Ada yang masak, ada yang ngaji, ada yang dhuha, ada yang tidur lagi. Nanti abis Dzuhur ngaji lagi namanya sorogan sampai selesai kira-kira jam 2. Kalau habis Ashar itu nggak ada pengajian itu buat anak santri istirahat, yang masak dan punya piket nyapu ngepel,” ucap dia.
Kegiatan malam hari dimulai setelah salat magrib dengan membaca al Qur’an hingga menjelang sholat Isya. Setelah salat isya dilanjutkan membaca kitab dalail khoirot hingga pukul 21.00.
Tidak ada biaya belajar di Pondok Pesantren Riyadhul Awamil. Belajar di sini gratis tanpa biaya. Anwarudin hanya meminta satu santri membayar Rp10 ribu per bulan untuk membayar biaya listrik ke PLN. Iuran Rp10 ribu per bulan ini dinilai pantas karena para santri menggunakan lampu listrik untuk belajar.
Baca Juga: Dewan Pengurus Korpri Kota Serang Janjikan Bonus Umroh, Jika Meraih Juara 1
“Karena sekarang ngajinya udah pakai lampu. Bukan pakai damar (lampu lentera-red) . Kalau pakai damar nggak bayar listrik lagi. Dia yang bawa minyak tanah,” ungkap dia.
Selain tidak ada biaya belajar, di pesantren ini juga tidak ada biaya makan atau keperluan santri lain. Karena para santri di pesantren salafi terbiasa memasak dan mencuci baju sendiri secara mandiri.
Pesantren juga tidak pernah membebankan kepada para santri membayar biaya bangunan. Pengasuh pondok pesantren hanya mengandalkan uang sendiri untuk membangun asrama (kobong) dan bangunan untuk tempat belajar para santri.
“Paling kalau umpamanya anak santri kasih tahu sama orangtua, kadang-kadang ada yang kasih. Tapi kalau minta uang bangunan saya nggak,” ungkapnya.
Anwarudin mengaku mengajari para santri dengan keikhlasan. Dia hanya berharap akan ada balasan dari Allah SWT karena dia tidak ikhlas mengajarkan ilmunya kepada para santri.
Adapun pelajaran yang diajarkan kepada para santri di Pondok Pesantren Riyadhul Awamil lebih banyak merupakan pelajaran agama Islam. Pelajaran-pelajaran itu meliputi baca alQur’an, hafalan al Qur’an, menulis Arab, nahwu, sharaf, dan tajwid. Adapun kitab-kitab yang dipelajari seperti fathul qorib, amil, jurumiyah, dan dalail khoirot.
“Yang saya perkuat itu baca Qur’an. Harus bagus tajwidnya. Lalu hafalannya. Terus tulisan Arab harus bagus. Itu yang saya kuatin,” ucap dia. ***

















