BANTENRAYA.COM – Kota Cilegon telah menempati posisi nomor 2 sebagai kota yang masuk daftar kota paling intoleran menurut pengamatan SETARA Institute.
Dikutip Bantenraya.com dari SETARA Institute, pihaknya telah merilis Indeks Kota Toleran (IKT) berdasarkan pengamatannya selama tahun 2024.
Kota Cilegon menjadi salah satu kota yang masuk dalam daftar IKT terendah nomor 2 dari 10 daerah di Indonesia.
Baca Juga: Malam Ini! Pertandingan Manchester United vs ASEAN All Stars: Daftar Pemain dan Link Streaming
Berikut daftar daerah di Indonesia yang masuk dalam IKT terendah:
1. Kota Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan, mendapatkan skor 3,945.
2. Kota Cilegon, Provinsi Banten, mendapatkan skor 3,994.
3. Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, mendapatkan skor 4,140.
4. Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, mendapatkan skor 4,202.
Baca Juga: Pengusaha di Banten Terkendala Modal, HIPMI Banten Dorong Solusi Konkret untuk Permodalan UMKM
5. Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, mendapatkan skor 4,320.
6. Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, mendapatkan skor 4,357.
7. Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, mendapatkan skor 4,363.
8. Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, mendapatkan skor 4,370.
Baca Juga: Profil dan Biodata Evelli NEXT MONSTER, Member Pertama yang Dikenalkan YG Entertainment
9. Kota Sabang, Provinsi Aceh, mendapatkan skor 4,377.
10. Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan, mendapatkan skor
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengungkapkan, rendahnya skor IKT tersebut penyebabnya bukan dari maraknya peristiwa intoleransi atau hal-hal negatif lainnya.
Baca Juga: Tipu Puluhan Warga Pandeglang, Pria Mengaku Direktur Travel Umroh Diamankan Polda Banten
“Ini disebabkan ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kotanya. Sementara kota-kota lain telah melakukan berbagai inovasi maupun terobosan dalam bentuk toleransi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Kota Cilegon, Kota Banda Aceh, Kota Pekanbaru, dan Kota Lhokseumawe berdasarkan pantauannya dinilai belum dapat memberikan inovasi yang memajukan toleransi dari bentuk program atau kebijakan.
“Meskipun terus diupayakan sudah lama dan memiliki ruang-ruang komunikasi antar umat beragama dan etnis, tapi nyatanya ada juga yang terhambat oleh kebijakan pemerintah kotanya,” jelasnya.***