BANTENRAYA.COM – Wakil Presiden Ke-13 Ma’ruf Amin mengatakan, gerakan politik kiai secara umum di Indonesia pada hari ini sudah hampir mati. Dia pun menyayangkan sikap sebagian besar kiai yang tidak mau tahu dan tidak mau terlibat dalam urusan politik.
Hal itu disampaikan Ma’ruf Amin saat acara peluncuran buku “Kiaiku Pahlawanku” yang digagas oleh Korem 064/ Maulana Yusuf di Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Rabu (6/11/2024).
Ma’ruf Amin mengatakan, saat ini kesadaran politik para kiai sudah amat sangat kurang. Akibatnya, gerakan politik kiai menjadi lemah. Para kiai hari ini, kata Ma’ruf Amin, lebih banyak berkecimpung di dunia pendidikan dan tidak terlibat pada proses politik.
“Kiai cuma ngaji, doa,” katanya.
Padahal, semua keputusan penting yang diambil oleh negara diputuskan melalui keputusan politik. Aturan berupa undang-undang dan aturan turunannya yang kemudian mengikat semua masyarakat juga ditetapkan dalam keputusan politik. Karena itu, seharusnya kesadaran politik para kiai tetap tumbuh karena itu sangat penting.
“Telah hilang kesadaran politik dari kebanyakan ulama,” katanya.
Baca Juga: Anggaran Makan Siang Bergizi Gerogoti APBD 2025
Padahal, kiai zaman dahulu, mulai dari Syekh Nawawi al Bantani sampai dengan Sultan Maulana Hasanuddin, adalah kiai-kiai yang memiliki kesadaran bahkan gerakan politik. Bahkan, Sultan Maulana Hasanuddin bukan hanya seorang raja kerajaan Islam melainkan juga seorang politikus. Karena itu, pantas apabila Sultan Maulana Hasanuddin dijuluki sebagai kiaiku pahlawanku sebagaimana judul buku tersebut. Namun sayangnya hal itu tidak ditiru oleh para kiai hari ini.
“Kiai sekarang bukan lagi pahlawan. Kiai sekarang adalah pecundang,” kata mantan Ketua Umum PBNU ini.
Untuk itu, Ma’ruf Amin mengajak agar para kiai tidak hanya pandai dalam hal ilmu agama tetapi juga terlibat dalam politik. Dia berharap ke depan akan ada kiai-kiai lain yang bisa menempati jabatan strategis di negara ini, baik sebagai Wakil Presiden seperti dirinya atau bahkan sebagai Presiden Indonesia.
Ma’ruf Amin pun mencontohkan para pemimpin masa lalu hampir semuanya adalah para kiai. Mulai dari Sultan Maulana Yusuf, Sultan Maulana Muhammad, Sultan Ageng Tirtayasa, Kiai Wasid yang terkenal dengan Geger Cilegon, Syekh Nawawi al-Bantani yang merupakan ulama internasional, Ahmad Chotib, Ki Syam’un, dan lain sebagainya.
“Ini motivasi bagi kiai Banten supaya seperti itu,” katanya.
Ma;ruf Amin juga mengkritik sentralitas kiai yang saat ini sudah mulai hilang. Bila dahulu orang yang akan melakukan apa pun selalu meminta petunjuk dan saran serta doa kiai, saat ini kiai tak lebih tak kurang hanya berperan sebagai “tukang amin” atau yang bertugas memimpin doa. Beberapa penyebabnya adalah karena kiai saat ini kehilangan konektivitas dengan kiai lain. Kiai saat ini lebih asyik melakukan segala sesuatu sendiri-sendiri.
Baca Juga: Nanang Saefudin Harap UMKM Kota Serang Dilibatkan Makan Bergizi Gratis
Penyebab lain, kiai saat ini banyak “bermasalah” dengan keikhlasan. Ini juga yang membuat ucapan kiai hari ini berbeda dengan kiai zaman dulu. Bila dahulu omongan kiai banyak didengar masyarakat, maka hari ini omongan kiai kadang masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan.
“Ulama dulu berjuang untuk kemuliaan Islam dan keselamatan semua orang dan mencari keridhoan Allah. Sedang sekarang untuk kemuliaan diri sendiri, mencari dunia, dan mencari kerelaan makhluk (supaya orang menerima),” ujarnya.
Komandan Korem 064/Maulana Yusuf Brigjen TNI Fierman Sjafirial Agustus mengatakan, Banten memiliki puncak peradaban pada abad ke-16 Masehi saat Banten masih dalam bentuk kerajaan Islam. Tokoh-tokohnya, seperti Sultan Maulana Hasanuddin Banten, adalah kiai yang menjadi tokoh sentral. Untuk itu dia menganggap ini perlu diangkat kembali agar masyarakat ingat dan memahami kembali tentang sejarah kebesaran Banten.
“Bimbingan dari para kiai, petuah-petuah dari kiai yang sama dengan abad ke-16 sangat dibutuhkan untuk membangun Banten menuju ke Indonesia Emas 2045,” kata Fierman.
Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar mengatakan, hingga saat ini para kiai sebetulnya menjadi tokoh sentral di masyarakat. Dalam kehidupan sosial bahkan ritual keagamaan, semuanya pasti atas bimbingan dari para kiai.
Baca Juga: Tingkatkan Kompetensi Jurnalis di Indonesia, Dewan Pers Apresiasi BRI Fellowship Journalism 2025
“Kiai ke depan itu juga harus menjadi tokoh sentral, kembali seperti masa lalunya, karena memang hampir semua tatanan kehidupan itu bertanya pada kiai,” ujar Al Muktabar. (***)