BANYENRAYA.COM – Masjid Agung Banten merupakan salah satu pusat peribadatan umat Islam yang berada di Provinsi Banten.
Kini, masjid tersebut menjadi salah satu pusat kegiatan umat Islam, bukan hanya di Banten itu sendiri, bahkan hampir umat Islam di Nusantara secara rutin mengunjungi masjid ini dengan tujuan berziarah.
Masjid agung Banten sendiri merupakan salah satu peninggalan peradaban keemasan Islam di Banten.
Tentunya, hal tersebut membuat masjid ini memiliki perjalanan panjang sejarah hingga masjid Agung Banten terlihat seperti saat ini.
Berikut ini Bantenraya.com rangkum sedikit sejarah singkat dari Masjid Agung Banten yang dilansir dari situs bantenprov.go.id.
Baca Juga: Pemprov Pastikan Hewan Qurban di Banten Memenuhi Syari’at
Perkembangan Islam di Banten disertai pembangunan kerajaan dengan empat komponen utama.
Pertama, istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal rajaraja. Kedua, masjid agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, alun-alun sebagai pusat kegiatan rakyat. Dan keempat, pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Masjid Agung Banten didirikan pada 1566 M ketika Maulana Hasanuddin menjabat sebagai Sultan Banten pertama pada 1552-1570.
Inilah warisan kesultanan Banten yang masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Sebagaimana masjid-masjid lain di Nusantara, Masjid Agung Banten berdenah segi empat dengan rancang bangun yang unik.
Baca Juga: Pembangunan Jalan Tol Serpan Diharap Selesai Tepat Waktu
Arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina, dan Eropa.
Ini dikarenakan pembangunannya melibatkan tiga arsitek dari negeri yang berbeda.
Raden Sepat merupakan arsitek utama berasal dari Majapahit yang juga menukangi Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut arsitek asal Cina, dan Hendrik Lucaz Cardeel asal Belanda.
Atas jasa-jasa mereka menegakkan simbol kebesaran Islam itu, Tjek Ban Tjut dianugerahi gelar bangsawan dari kesultanan dengan nama Pangeran Adiguna.
Sedangkan, Hendrik Lucaz Cardeel yang kemudian diketahui memeluk Islam mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna.
Baca Juga: Dua RPH di Pandeglang Belum Kantongi Sertifikat Halal
Bentuk arsitektur lokal karya Raden Sepat dapat dilihat dari empat tiang penyangga (saka guru) di bagian dalam bangunan masjid.
Di ruangan ini terdapat mimbar kuno berukir indah yang menegaskan kuatnya nuansa lokal. Setidaknya, ada dua kisah berbeda seputar keberadaan mimbar ini.
Cerita pertama mengatakan bahwa ia merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jon jang Serang pada 23 Syawal 1323 Hijri yah (1903 M) sebagaimana tertulis de ngan huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar.
Pendapat kedua memperkirakan, mim bar itu adalah buah karya Tjek Ban Tjut. Tjek Ban Tjut adalah arsitek pembantu Raden Sepat.
Dialah yang konon membuat atap masjid begitu mirip dengan atap pagoda. Atap yang melingkar berbentuk bujur sangkar itu bertingkat lima, yang menyimbolkan rukun Islam.
Baca Juga: PPK dan PPS untuk Pilkada Pandeglang 2024 Dilantik, Ada yang Bertugas di Daerah Rawan Bencana
Dua atap paling atas ken tal dengan arsitektur Cina. Semakin rendah, atapnya semakin lebar, menaungi serambi di sisi utara dan selatan, di mana bersemayam jasad para ulama dan anggota keluarga kesultanan terdahulu.
Adapun karya Hendrik Lucaz Cardeel berupa menara setinggi 24 meter yang terletak di sebelah timur masjid.
Bentuknya segi delapan, pintu masuk melengkung pada bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat.
Ini adalah arsitektur khas Belanda. Karena itu, keberadaanya menjadi kurang serasi dengan bangunan masjid.
Semula bangunan ini bukanlah menara adzan, tetapi menara rambu dan pengintai untuk pelabuhan Banten yang terkenal sibuk.
Baca Juga: Jumlah Investor dan Transaksi Saham di Provinsi Banten Bulan Maret 2024 Meningkat
Ada yang berupaya memaknai bentuk bangunan menara dengan sudut pandang Islam. Segi delapan disinyalir hasil pembagian dari 24 dibagi 3.
24 adalah simbol waktu, 24 jam. Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah (sumber nafkah) dan istirohah (istirahat).
Jadi, pesan yang ingin di sam paikan, agar umat Islam memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk ketiga hal tersebut, yang masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam.
Karya Hendrik Lucaz Cardeel lainnya adalah Tiamah di sebelah selatan masjid. Yaitu, bangunan semacam pavi liun yang dahulu sering digunakan para ulama dan umara Banten untuk men diskusikan masalah-masalah keagamaan.
Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan untuk mengatur sirkulasi cahaya dan udara.
Baca Juga: Wisata Edukasi Kebun Kelinci Serang, Tiket Masuk Rp10 Ribu Per Anak
Sekarang Tiamah digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan Kesultanan Banten.
Saat ini, Masjid Agung Banten masuk dalam wilayah Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten.
Keberadaan nya menjadi tujuan wisata religius, sejarah, pendidikan, dan budaya. Pada hari-hari besar Islam, misalnya peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, ribuan peziarah dari dalam dan luar daerah menyatu memperingati kelahiran Baginda Rasul.
Keberadaan makam ulama dan keluarga kesultanan serta museum menambah daya tarik masjid bagi masyarakat.
Para peziarah yang datang tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga memperluas wawasan tentang sejarah perjalanan bangsa.
Baca Juga: 1 Menit Lalu! Kumpulan Kode Redeem FF 27 Mei 2024 Terbaru, Ada Hadiah Menarik dari Garena
Dengan demikian, masjid tidak semata sebagai tempat di mana hamba bermunajat kepada Tuhannya, tetapi juga sarana menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan budaya.***
















