BANTENRAYA.COM – Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 mengenai Hari Penegakan Kedaulatan Negara dinilai banyak terdapat kekeliruan dari data sejarah yang dipakai.
Fadli Zon, politisi dari Partai Gerindra menyebutkan bahwa pemerintah jangan menjadi aktor yang membelokkan sejarah.
Dalam keterangan lebih lanjut, Fadli Zon mengunggah video di akun Youtube-nya @FadliZonOfficial pada Jumat 4 Maret 2022, mengenai penilaiannya tentang Keppres Nomor 2 tahun 2022 yang dianggap keliru menggunakan data-data sejarah.
“Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 erat kaitannya dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yaitu dengan pendudukan enam jam di Jogja,” kata Fadli Zon.
Selanjutnya, Fadli Zon menerangkan sesungguhnya pada peristiwa itu dipimpin oleh Letkol Suharto yang kemudian menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.
“Kita bisa melihat dari film yang dibuat oleh Usmar Ismail tentang enam jam di Jogja, bahwa jelas di situ peran Pak Harto sangat besar,” jelas Politisi Gerindra tersebut.
Pada peristiwa enam jam di Jogja, Suharto menjadi komandan Wehrkeise III langsung memimpin pendudukan enam jam di Jogja sebagai isyarat pada dunia bahwa Indonesia masih ada dan terus berjuang demi mempertahankan kemerdekaannya.
Fadli Zon menyatakan mengapa Keppres Nomor 2 Tahun 2022 menjadi polemik dan perdebatan di ruang publik karena tidak menyebut Suharto sebagai bagian penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
“Yang disebut adalah ide ini datang dari Sri Sultan HB IX dan diperintahkan kepada Jenderal Sudirman dan disetujui serta digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta,” ujarnya.
Selain itu, ada upaya untuk menyelamatkan Republik Indonesia juga yang dilakukan oleh Sjafruddin Prawirangera di Bukit Tinggi dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
“Upaya-upaya gerilya dan perlawanan dari berbagai daerah inilah yang disampaikan oleh PDRI dibantu dengan stasiun-stasiun radio Angkatan Udara yang sampai ke Singapura, India, dan Amerika Serikat kemudian mereka menyampaikan bahwa Indonesia masih ada,” tutur Fadli Zon.
Sebagaimana yang dikutip bantenraya.com dari buku Sang Penyelamat Republik karangan Sriyanto, M.P.I mengatakan bahwa pada 3 Maret 1949 Stasiun radio Dick Tamimi di Bidar Alam menerima radiogram dari Wonosari yang mengabarkan bahwa telah terjadi Serangan 1 Maret 1949.
Radiogram tersebut dikirimkan ke seluruh stasiun radio di AURI di Sumatera, Koto Tinggi, Aceh hingg ke Perwakilan RI di New Delhi, India.
Diketahui bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 masih merupakan dalam kerangka Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara mulai pada 22 Desember 1948-13 Juli 1949.
Kalau PDRI, kata Fadli Zon, tidak diakui atau tidak disebut dalam Keppres ini, maka ada waktu tujuh bulan, kita tidak memiliki pemerintahan.
Baca Juga: Amanda Manopo Melahirkan, Balon Biru dan Nama Anaknya
“Itulah mengapa saya mengingatkan kepada jajaran pemerintahan agar tepat di dalam rangkaiannya ini, karena sejarah tidak boleh dibelokkan,” pungkas Fadli Zon.
Selain itu Fadli Zon juga menghimbau kepada pemerintahan jangan sampai memanipulasikan sejarah bahkan menghilangkan peranan tokoh-tokoh sejarah yang mempunyai jasa dalam kemerdekaan ataupun mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari bangsa asing yang ingin menjajah Republik Indonesia.***















