BANTENRAYA.COM – Polemik terganjalnya KUA-PPAS sebagai salah satu mekanisme penggaran APBD 2026 terus menggelinding.
Bahkan, eksekutif dan legislatof saat ini saling bersautan dan mengklaim pandangan paling benar soal tahapan mekanisme penggaran, terutama soal pinjaman daerah.
Menutuk eksekutif skema penggaaran Pinjaman Daerah dalam membangun Jalan Lingkar Utara tinggal disahkan di KUA-PPAS dan RAPBD 2026.
Sebab, dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan RPJMD secara umum sudah tertuang soal pembangunan JLU.
BACA JUGA: Sekda Nanang Saefudin Ditunjuk Sebagai Ketua Satgas MBG Kota Serang
Namun, menurut DPRD Kota Cilegon pinjaman modal sam skemanya belum ada di KUA-PPAS. Hal itu akan memiliki komsekuensi hukum secara adminiyrasi dan berujung pidana jika tetap disahkan.
Sebab, secara mekanisme rincian pinjaman dan skemanya harus jelas tertuang di dalamnya.
Kedua lembaga tersebut juga mengklaim kebenaran pandangan dan sikapnya berdasarkan opini dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) soal pinjaman daerah.
Sejumlah pengamat menyebutkan faktor besar munculnya polemik penolakan pinjaman daerah, salah satunya karena Robinsar dan Fajar Hadi Prabowo lemah dalam membangun komunikasi politik, sehingga ada ganjalan dalam keputusan di legislatif.
Mestinya, hal itu tidak terjadi jika konsolidasi koalisi Cilegon juara sebanyak 17 kursi di DPRD Kota Cilegon bisa berjalan.
Sebab, secara hitungan mekanisme sidang atau quorum hanya membutuhkan tambahan minimal 4 kursi lagi atau cukup satu fraksi DPRD Kota Cilegon dari total kursi DPRD Kota Cilegon sebanyak 40 kursi.
Pentingnya membangun komunikasi tersebut karena mekanisme pengambilan keputusan tetal ditentukan secara politis di DPRD Kota Cilegon.
Dampak Administratif dan Teknis Tertundanya KUA-PPAS
Pengamat Politik dan Ekonomi The Sultan Center Edi M Abduh menyatakan, butuh lagi konsolidasi dan komunikasi politik. Sebab, KUA-PPAS menjadi peta jalan kepala daerah menyusun APBD.
“Harus dipastikan sinkronisasi program. Komunikasi politik harus juga dilakukan,” katanya.
Di sisi lain, dewan tentu harus menjalankan fungsinya budgeting sepanjanh itu bisa membahayakan ruang fiskal daerah.
“Ya bisa jadi dewan masih menganalisa batas maksimal APBD Kota Cilegon,” jelasnya.
Pengamat lainnya Yanu Setiawan menyampaikan, ada banyak faktor selain politik yang menjadi penyebab pengesahan KUA-PPAS terganggu, misalnya teknis dan adminitrasi.
“Akibat hukumnya apabila tertunda bisa berakibat pada penyusunan RAPBD secara holistik juga tertunda, desain postur anggaran bisa menjadi tidak relevan dengan RPJMD dan berpotensi menimbulkan sanksi administratif.
Karena terhambatnya pembahasan RAPBD dapat juga berisiko mengganggu pelayanan publik serta menstimulasi dinamika penataan keuangan daerah,” jelasnya.
Soal politik sendiri, papar Yanu, seharusnya tidak.jadi fokus pengamayan. Hal itu karena deaam memiliki kewenangan budgeting.
“Soal konsolidasi politik, saya kira memang sepatutnya tidak menjadi fokus pengamatan, karena setiap anggota DPRD sepatutnya memiliki kewenangan budgeting, sehingga wajar apabila membahas secara serius postur APBD sesuai RPJMD dan RKPD yang tentunya telah diselaraskan dengan visi dan misi Walikota Cilegon,” pungkasnya.***