BANTENRAYA.COM – Sejumlah keluarga di Kampung Cipasung, Desa Sukarendah, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak memilih bertahan di rumah mereka meski kondisinya hampir ambruk dan dipenuhi retakan akibat bencana tanah bergerak.
Kondisi itu sendiri sudah terjadi sejak satu tahun ke belakang. Korban bencana tanah bergerak memilih bertahan meski nyawa terancam lantaran tidak memiliki biaya untuk pindah rumah.
Seperti Habsah, salah satu pemilik rumah yang hancur bencana itu datang. Janda berusia 50 tahun itu memilih menetap karena tak punya biaya untuk pindah.
BACA JUGA: Jakalana Pindah Server Usai Tabrak Kompresor di Kota Serang Gegara Bawa Motor Mengantuk
Kondisi rumahnya sendiri saat ini sangat memperihatinkan. Sebagian besar atapnya runtuh dan temboknya dipenuhi retakan.
Setiap pagi, selalu ada bagian kecil dari rumahnya yang berjatuhan. Jika terus bertahan, bukan tidak mungkin rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman malah berbalik membunuhnya.
Saat ini, rumah Habsah hanya tersisa bagian dapur yang bisa ia tempati untuk beristirahat dan berlindung dari panasnya sengatan matahari dan dinginnya angin malam.
Sedangkan kamar maupun bagian tengah rumah lainnya, kini dipenuhi oleh reruntuhan.
BACA JUGA: Adu Rangking FIFA Futsal Indonesia vs Denmark Jelang Final CFA International Tournament 2025
“Setiap pagi saya membersihkan puing-puing yang berjatuhan. Pagi bersih, siang sedikit numpuk lagi itu debu dan reruntuhannya,” kata Habsah saat ditemui di rumahnya pada Kamis, 11 September 2025.
Meski sudah berlalu satu tahun lebih dari peristiwa tanah bergerak, Habsah menganggap tanah bergerak yang terjadi bukan sekedar fenomena alam, namun sebuah bencana yang memunculkan ketakutan.
Sampai kapan pun, ia tidak akan terbiasa dengan kondisi itu. Belum lagi saat malam, ia kerap terbangun ketika tidur kala suara retakan di rumahnya mulai terdengar.
“Kalau dapur ikut hancur, saya gak ada tempat tinggal lagi. Sudah tidak ada yang bisa ditempati,” tuturnya.
Korban Tanah Bergerak Terus Dihantui Rasa Cemas
Nasib sama juga dirasakan oleh Martisah (65), korban bencana tanah bergerak lainnya. Ia dan suaminya yang sudah renta bahkan harus keluar dari rumah dan mencari tempat aman ketika hujan maupun angin kencang melanda.
Jaga-jaga jika rumahnya ambruk saat ini ia sangat butuh bantuan tempat tinggal baru.
“Bukan sembako, tapi rumah baru. Suami sudah tidak bisa kerja karena sudah tua. Hanya itu saja,” kata Martisah.
Ketakutan yang sama dirasakan Deni (43), warga lain yang rumahnya juga ikut terdampak. Meski dihantui rasa cemas, ia tak punya pilihan selain tetap bertahan.
“Ya takut lah pak, kalau malam suka enggak bisa tidur, paling tidur juga sejam dua jam terus bangun lagi. Apalagi tiap malam suka ada suara retakan. Pokoknya enggak aman lah, apalagi saya punya anak dan istri,” ucapnya.
Menurut Deni, ada sekitar empat hingga lima rumah yang sudah mengalami kerusakan parah. Namun hingga kini, bantuan yang datang baru berupa paket sembako.
Bagi Deni, kampungnya itu seakan duduk di tepi jurang. Warga menjalani hari-hari dalam kecemasan, malam-malam dalam kepanikan, tanpa tahu kapan bencana akan benar-benar merenggut rumah mereka.
Harapan pun hanya tertuju pada pemerintah, agar segera turun tangan dengan langkah nyata, sebelum lebih banyak rumah dan nyawa terancam oleh tanah yang tak kunjung berhenti bergerak.
“Kalau bisa mah ini secepatnya ada bantuan rehabilitasi rumah, soalnya kami takut enggak bisa tidur kalau malam,” imbuhnya. ***
 
			














