BANTENRAYA.COM – Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak Mawar (nama samaran), warga Serang, bahwa dirinya akan menjalani hidup sebagai Orang dengan HIV/ AIDS (ODHA/ ODHIV).
Ketika pertama kali divonis positif HIV, ia merasa dunianya runtuh seketika. Namun kehadiran sang buah hati menyadarkannya bahwa ia harus bangkit dan bertahan.
Mawar mengisahkan awal mula dirinya terinfeksi HIV. Ia menikah dengan suaminya meski mengetahui sang suami memiliki riwayat sebagai pengguna narkoba jarum suntik.
BACA JUGA: Kesbangpol Banten Siap Bersinergi, Pemprov Antisipasi 3 Isu Utama Jelang Nataru
Keputusan menikah dia ambil karena hasil pemeriksaan kesehatan suaminya menunjukkan negatif HIV.
Namun, Mawar tidak mengetahui bahwa ada masa jendela dalam infeksi HIV, yaitu masa ketika seseorang telah terpapar virus tetapi hasil tes masih menunjukkan negatif.
Beberapa bulan kemudian, barulah infeksi itu terdeteksi. Yang membuat hatinya hancur, saat dinyatakan positif HIV, ia tengah mengandung anak pertamanya yang berusia empat bulan.
“Rasanya dunia seperti berhenti,” kenangnya, Senin (1/12/2025).
Namun Mawar kemudian sadar, ada janin yang harus ia selamatkan. Kesedihan tidak boleh berkepanjangan.
Sejak saat itu, Mawar tekun mencari informasi tentang cara mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Ia rutin berkonsultasi ke fasilitas kesehatan, mencari informasi ke sana ke mari, dan mengonsumsi obat antiretroviral (ARV), obat yang digunakan untuk mengendalikan virus HIV.
Usaha Mawar disiplin minum obat ternyata membuahkan hasil. Anak pertamanya lahir dalam kondisi normal dan dinyatakan negatif HIV. Kini, anaknya sudah beranjak remaja berusia 17 tahun.
Kepada buah hatinya, Mawar juga bersikap terbuka dengan inveksi yang dideritanya. Di usia 11 tahun, sang anak mulai bertanya mengapa ia dan ayahnya minum obat setiap hari.
Di situlah Mawar menjelaskan bahwa dirinya hidup dengan HIV.
Kini, anak Mawar telah berusia 17 tahun dan sepenuhnya memahami kondisi ibunya. Tidak hanya anaknya, keluarga besar, serta teman-teman dekatnya pun menerima dan mendukungnya.
Mawar merasa bersyukur hidup dalam lingkungan yang memberikan dukungan kepadanya.
Sebagai ODHA, Mawar berharap masyarakat semakin memahami tentang HIV dan tidak lagi memberikan stigma atau diskriminasi.
Sebab ODHA tidak semestinya dihindari sebab mereka tidak memiliki penyakit kutukan.
“Yang harus dijauhi itu virusnya, bukan orangnya,” ujarnya.
Mawar juga merasakan perkembangan layanan kesehatan saat ini semakin ramah bagi ODHA. Saat ini, obat-obatan ARV dapat diakses di lebih banyak fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas.
Kondisi ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika layanan hanya terpusat di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara.
Ia menegaskan, hidup sebagai ODHA bukanlah akhir dari segalanya. Dengan disiplin mengonsumsi ARV, ODHA dapat menjalani kehidupan layaknya orang sehat, tetap produktif, dan memberi manfaat bagi orang lain.
Sementara itu, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, ditemukan 15.000 ODHA atau ODHIV di Provinsi Banten.
Mereka tersebar di Kota Cilegon 842 orang, Kota Serang 413 orang, Kota Tangerang 3.150 orang, Kota Tangerang Selatan 2.531 orang, Lebak 639 orang, Pandeglang 409 orang, Serang 1.649 orang, dan Tangerang 5.522 orang.
Koordinator Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Banten Arif Mulyawan mengungkapkan, tren penularan HIV saat ini tidak hanya terjadi di perkotaan tapi mulai bergeser ke pedesaan. Dia mencontohkan, di daerah Panimbang ditemukan 100 kasus baru HIV.
“Panimbang yang merupakan daerah pedesaan sudah ditemukan ada HIV,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa banyak faktor mengapa tren penularan HIV bergeser ke pedesaan. Salah satunya adalah mereka yang dari pedesaan bekerja di kota lalu di kota itu mereka tertular. Setelahnya, mereka pulang ke desa dan menikah.
Karena tidak pernah melakukan pemeriksaan HIV, maka dia tidak tahu dirinya tertular. Pada akhirnya, dia kemudian menularkan virus tersebut kepada istri dan bahkan anak mereka di desa.
“Karena mereka tidak konsultasi dengan layanan kesehatan, sehingga akan melahirkan anak-anak yang terinfeksi HIV,” katanya.
Bila kasus-kasus ini dibiarkan tanpa ada penanganan yang memadai, terutama dari good will Pemerintah Provinsi Banten, target Pemerintah Indonesia menuju generasi emas 2045 menurutnya akan sulit terwujud. Bahkan, itu bisa jadi hanya akan menjadi utopia belaka.
“Target eliminasi HIV tahun 2030 bisa jadi hanya mimpi,” katanya. ***
















