BANTENRAYA.COM – Harapan pelaku industri baja Indonesia untuk menikmati tarif masuk preferensial 19 persen ke pasar Amerika Serikat (AS) harus terkubur dalam-dalam.
Pasalnya, produk baja nasional justru dihadapkan pada tarif lebih dari 50 persen akibat kebijakan proteksionis Washington.
Widodo Setiadharmaji mengatakan, potensi banjir produk impor ini dapat menciptakan kelebihan pasokan di pasar lokal, yang ujung-ujungnya memicu perang harga tidak sehat.
Baca Juga: Non ASN Lebak Harap-harap Cemas, Usulan Penetapan Paruh Waktu Belum Jelas
“Kondisi ini tidak hanya membatasi akses ekspor, tetapi juga memicu ancaman serius bagi pasar domestik,” kata Widodo dalam keterangan tertulis yang dikutip Bantenraya.com, Selasa 12 Agustus 2025.
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS yang diumumkan pada 22 Juli 2025, yang seolah menjanjikan tarif 19 persen melalui Executive Order (EO) 14257, ternyata tidak berlaku untuk sektor baja.
Dokumen kebijakan tersebut secara eksplisit mengecualikan produk baja dan aluminium, yang tetap tunduk pada rezim tarif khusus Section 232.
Baca Juga: Tak Semua Diangkat Jadi PPPK Paruh Waktu, Robinsar Akan Pilih dari Hasil Kinerja
Berdasarkan ketentuan Section 232, seluruh produk baja Indonesia tanpa terkecuali dikenai tarif dasar sebesar 50 persen.
“Ini adalah realita yang harus kita hadapi. Angka 19 persen itu tidak berlaku untuk baja,” ungkapnya.
Beban biaya itu, kata Widodo, bahkan menjadi lebih besar untuk produk-produk strategis. Misalkan, untuk baja canai panas (HRC), pelat, baja tulangan, dan PC Strand, tarif efektifnya bisa meroket hingga 108-122 persen.
Baca Juga: Akui Pernah Ditakut-takuti Pocong Saat Jurit Malam, Andra Soni Ceritakan Pengalamannya Ikut Pramuka
Angka fantastis ini merupakan akumulasi dari tarif dasar 50 persen ditambah dengan bea antidumping (AD) dan bea imbalan (CVD) yang mencapai 58-72 persen. Meskipun begitu, Widodo menyebut secercah peluang tetap ada.
Produk baja lapis (coated steel), stainless steel, dan alloy tertentu yang tidak dikenai trade remedies tambahan, tarifnya hanya berkisar 50–55 persen.
“Produsen dalam negeri sangat berisiko tertekan, bahkan bisa terpaksa menjual produk di bawah biaya produksi jika tidak ada kebijakan perlindungan yang memadai,” jelas Widodo.
Baca Juga: Link Nonton Drakor My Girl Friend Is The Man Episode 7 Sub Indo Full Movie dengan Sinopsis
Menghadapi situasi ini, Widodo Setiadharmaji mendesak pemerintah dan pelaku industri untuk mengambil langkah-langkah strategis dan terkoordinasi. Ia mengusulkan tiga langkah utama yakni.
Pertama, memperkuat benteng pertahanan pasar domestik menjadi sebuah keharusan. Penggunaan instrumen safeguard, antidumping, dan bea imbalan perlu dioptimalkan untuk melindungi industri nasional dari gelombang impor.
Kedua, diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan menjadi kunci untuk menjaga volume ekspor di tengah ketatnya persaingan.
Baca Juga: Hanya 30 Persen Angkot Cilegon Lakukan Uji Kir, Sopir Keluhkan Soal Trayek
Ketiga, upaya negosiasi diplomatik untuk mendapatkan kuota tarif khusus dari AS, seperti yang berhasil diperoleh Jepang dan Korea Selatan, perlu terus diperjuangkan.
Melalui skema ini, sejumlah volume ekspor baja Indonesia bisa masuk ke pasar AS dengan tarif yang lebih ringan.***