Oleh: Riswanda PhD
Rilis Badan Litbang Kompas (2021) perihal tanggapan masyarakat atas ikhtiar kampanye politik untuk Pemilu 2024 di tengah periode pandemi cukup menggelitik.
Catatan, 68 persen responden menilai kampanye dengan media baliho tidak mempengaruhi preferensi, atau katakanlah elektabilitas seorang figur.
Upaya perkenalan demokratis yang dilakukan sejumlah figur bahkan dinilai 74,8% responden tidak etis, mungkin terpaut masa krisis pemulihan dampak pandemi saat ini.
Sorotan pada momentum pemasangan dinilai sejumlah pemerhati sebagai sempit empati, juga terlampau dini (Tirto.id 2021, Suara 2021).
Sementara Bawaslu (2021) menggaduhkan akses langsung terhadap laporan arta kampanye dan PP 94/ 2021 berkenaan netralitas ASN dalam Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024, perhatian kepada irisan kebijakan publik dan nilai aktual politik juga hakiki.
Mengutip frasa teoretikus politik bersejarah bahwa ‘democracy has to be born anew every generation, and education is its midwife’ (John Dewey The Middle Works, 1899-1924).
Artinya, pembelajaran demokrasi haruslah terlahir kembali pada tiap generasi, dimana kata kuncinya adalah pendidikan.
Demokrasi bukan hanya soal memilih dan dipilih, atau siapa boleh menunjuk serta siapa-siapa cakap ditunjuk.
Mencuplik tokoh epik Franklin D. Roosevelt, ‘democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely’.
Wujudnya, resep sukses demokrasi terletak pada bagaimana kesiapan bijak memilih dimiliki oleh mereka yang dapat mencetuskan pilihan.
Apa maksudnya? Menubuhkan diskursus kebijakan terkait Pilpres 2024 bisa jadi sebuah langkah akurat. Dibanding sekadar menuai polemik, patut dipertanyakan muatan konten dari aksi kampanye.
Regulasi kebijakan berwibawa dan berkata kunci ‘kontekstual’ dapat memangkas perang pena berkepanjangan. Apa makna kalimat tersebut? Matlamat demokrasi dapat terwakilkan oleh penilaian kebijakan terhadap pengembangan rencana dan susunan pemikiran kampanye — terintegrasi antara perubahan perilaku, analisis target, sampai komunikasi publik via pers/digital.
Kenapa harus seperti itu? Publik sebenarnya peduli dengan pengalaman tokoh yang dihadirkan kepada mereka.
Publik tahu kapan kampanye terasa tidak benar, yaitu ketika elemen-elemennya tidak cocok satu sama lain atau kontennya tidak terasa alami.
Mencukil Lieu Pham (n.d) misalnya, 77 persen publik telah memilih, merekomendasikan, atau membayar lebih untuk sosok yang memberikan pengalaman bermanfaat. Niat memberikan keputusan meningkat 90 persen saat publik melihat pesan yang konsisten di berbagai saluran. Jadi, kampanye hendaknya berisi ide pemersatu untuk dampak maksimal.
Kampanye harus memiliki pesan dan desain yang konsisten sebagai potret pengalaman figur yang sedang berdemokrasi secara kritis. Koherensi bisa dinilai secara khusus dengan menyesuaikan format, saluran, dan sasaran.
Kampanye sepatutnya selaras dengan sasaran yang ditentukan selama tahap perencanaan, sehingga dapat mengukur dampaknya, termasuk luaran persepsi positif yang dihasilkan. Selain prosesnya harus didukung dan diaktifkan oleh teknologi.
Alih-alih menyiratkan keinsafan berdemokrasi, jangan sampai luaran kampanye malah menghasilkan polusi virtual, atau setelah usai pesta demokrasi menjadi lapisan tenda pedagang kaki lima dan payung hujan kios penjual rokok.
Pendedahan kecil ini sedikitnya menghasilkan wawasan untuk menetapkan pendekatan kebijakan kampanye. Mungkin, tintingan proposisi atau pesan, saluran dan termasuk saringan mitra influencer merupakan bagian pendidikan dalam mendemokrasikan kampanye.
Teringat pada salah satu titik lidah Najwa Sihab, yang melafazkan bahwa ‘bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari’. ***