Oleh: Riswanda PhD
Distorsi informasi sepertinya mengiringi sensasi hasil putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja.
Apresiasi terhadap ketangkasan kerja Presiden Joko Widodo meredakan kekalutan publik, lebih tepat mungkin dikatakan ‘spill-over’ atau tumpahan dampak, dari niat baik meninjau kembali sebuah regulasi perundangan berjalan.
Kenapa bisa disebut seperti itu? Baru saja Sultan TV (2021, 2 Desember) menggelar bincang ‘Nasib UU Ciptaker Pasca Putusan MK’.
Diskusi menampilkan ulasan kritis-konstruktif akselerator kebijakan Indonesia, membincangkan silang pendapat yang berpotensi untuk terjadi akibat kegamangan perundangan berlaku.
Mempersambungkan antara kepentingan perubahan dan iradat pemerintah menerapkan kebijakan publik yang telah disahkan, bisa saja menimbulkan kegalauan publik.
Ditambah bumbu himpitan perlambatan ekonomi dan upaya mengatasinya, keputusan ini wajar saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis di relung pikir awam.
Sorotan terhadap keberadaan beberapa turunan regulasi tersebut, seperti Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UUHPP) dan encana kenaikan Upah Minimum Provinsi (UPP) di PP 36/ 2021.
Padahal, antusias peluang perbaikan ekonomi sedang timbul.
Kemudahan perizinan berusaha saat ini mulai tampak di mudahnya mengurus pendirian usaha-usaha mikro, via pendaftaran daring salah satunya.
Murah dan cepat mulai teraktualisasi bagi calon pelaku-pelaku usaha mikro misalnya. Peralihan dari ‘basis izin’ ke ‘basis resiko’ menjadi cikal penyederhanaan. Tampaknya selama ini kata ‘perizinan’ menjadi stereotip bengkaknya biaya dan lambatnya izin keluar.
‘Rendezvous’ dan ‘red-tape’ dahulu menjadi atribut melekat pangestu otoritas memulai usaha.
Saat ini, komunitas ekonomi kreatif dan paguyuban UMKM diarahkan turut berkecimpung di komunitas ekonomi digital. Maknanya, dukungan sehat regulasi dan dalam konteks jaminan kepala negara agar investor tidak menarik kembali investasinya (Laman Presidenri 202i) termasuk cakap langkah.
Terobosan baru akan dimulai, jangan sampai agenda debirokratisasi, deregulasi dan reformasi structural terbentur dinding formalitas beku dan karakter-karakter atau pola pikir yang diratakan peribahasa tempurung.