BANTENRAYA.COM – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten resmi meluncurkan program “1 Desa 1 Sarjana” dengan alokasi bantuan keuangan sebesar Rp20 Juta per mahasiswa.
Program 1 Desa 1 Sarjana ini digadang-gadang sebagai sebuah terobosan baru untuk mencetak generasi unggul desa dan mendorong mereka menjadi motor pembangunan.
Akan tetapi, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sindangheula, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Amin Rohani menilai program 1 Desa 1 Sarjana ini perlu dikritisi secara serius.
Baca Juga: Kunjungi Wartawan Korban Pengeroyokan di PT GRS Jawilan, Menteri LH: Kami akan Kawal Proses
Dirinya menyampaikan bahwa program 1 Desa 1 Sarjana dari Pemprov Banten tersebut harus dikritisi agar tidak berhenti menjadi slogan politik tanpa manfaat yang nyata bagi masyarakat.
“Gagasannya bagus, tapi kalau tidak dikawal dengan mekanisme yang jelas, program ini hanya akan menjadi seremonial belaka. Pertanyaannya sederhana: setelah lulus, apakah sarjana yang dibiayai uang rakyat ini akan kembali ke desa, atau justru meninggalkan desa untuk bekerja di kota? Kalau jawabannya yang kedua, maka desa tidak mendapatkan apa-apa,” tegasnya pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Baca Juga: Wartawan Banten Demo di Mapolda Banten, Bakar Ban hingga Lempar Telur Busuk
Ketua BPD juga menyoroti aspek keadilan. Ia menilai program ini harus memprioritaskan warga desa yang berprestasi tapi kurang mampu. Tanpa seleksi yang transparan, program justru berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.
“Kalau program ini hanya dinikmati keluarga yang sudah mampu secara ekonomi, itu sama saja membiayai yang kaya dengan uang rakyat. Itu pengkhianatan terhadap tujuan awal,” ujarnya.
Tidak hanya soal seleksi, akuntabilitas dana juga disorot. Dengan nominal Rp20 juta per mahasiswa, ia menegaskan perlunya sistem pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Desa, kata dia, wajib dilibatkan dalam pengawasan melalui laporan terbuka yang bisa dipantau publik.
BPD Sindangheula juga mengajukan solusi agar program ini tidak sekadar melahirkan sarjana tanpa arah. Ia mendorong adanya ikatan pengabdian pasca kuliah.
Sarjana penerima program harus kembali menyumbangkan tenaga, pengetahuan, atau ide untuk desanya, baik lewat pemberdayaan UMKM, pertanian, digitalisasi layanan desa, maupun kegiatan sosial lainnya.
Baca Juga: Pemkab Serang Bakal Lakukan MoU dengan Yayasan Al Bahr untuk Masjid Terapung Banten
“Desa tidak butuh sarjana yang hanya menyandang gelar. Desa butuh orang-orang yang membawa pulang ilmu, gagasan, dan semangat membangun. Kalau tidak ada ikatan pengabdian, program ini rawan jadi proyek politik jangka pendek,” tegasnya.
Dengan sikap kritis ini, Ketua BPD Sindangheula menegaskan bahwa dirinya tidak menolak program. Sebaliknya, ia mengingatkan bahwa 1 Desa 1 Sarjana hanya akan punya arti bila benar-benar dijalankan dengan prinsip tepat sasaran, transparan, dan berkelanjutan.
Jika tidak, program ini dikhawatirkan hanya akan menjadi pencitraan politik yang menguap tanpa meninggalkan dampak bagi desa. ***