BANTENRAYA.COM — Kegiatan Nyenyore & Kado Lebaran Rumah Dunia di hari terakhir ditutup dengan menu bedah buku novel Yuni.
Dalam kegiatan itu, hadir Ade Ubaidil sang penulis novel, Firman Venayaksa selaku akademisi dan pembedah novel.
Acara dipandu oleh Sanik Radi Fatih sebagai moderator.
Ade Ubaidil mengatakan, novel Yuni menceritakan seorang wanita bernama Yuni yang mengejar mimpi tetapi mendapatkan cemooh dari lingkungannya.
Fenomena seperti ini masih banyak ditemui di kalangan masyarakat kita.
“Sebenarnya buku ini menceritakan sosok wanita yang mengejar mimpinya, tetapi dari masyarakatnya tidak mendapatkan dukungan,” kata Ade.
Novel Yuni menceritakan sosok wanita yang berani melawan budaya-budaya lama di masyarakat, termasuk Banten karena menjadi setting lokasi film Yuni.
Salah satunya adalah melawan budaya “pamali” menolak lamaran lelaki, apalagi bila lamaran itu adalah lamaran yang ketiga kali.
Budaya seperti ini menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya. Perempuan seolah tidak bisa memilih jalan hidup sendiri dan harus tunduk pada budaya.
“Yuni ini sosok wanita yang berani melawan paham lama di masyarakat, seperti kebiasaan kita di kampung kalau dilamar cowok harus menerimanya,” sambung Ade.
Firman Venayaksa mengatakan, novel Yuni merupakan proses alih wahana dari media film ke dalam bentuk novel.
Alih wahana dari film ke novel atau bentuk lain semacam ini dalam dunia kesenian sudah biasa terjadi.
Terlebih di dunia sastra, hal tersebut bukan lagi hal baru. Banyak karya yang kemudian digubah ke bentuk yang lain, misalkan dari puisi me musik.
“Kesenian tidak akan bisa terlepas dari kesenian lainnya. Yuni merupakan proses transformasi dari bentuk audio visual ke buku. Meskipun pada umumnya, lebih banyak buku yang kemudian beralih ke film. Tapi ini bukanlah hal baru, terlebih di dunia sastra,” terangnya.
Firman mengatakan, untuk melawan budaya lama di masyarakat kita harus mendapatkan bantuan dari yang lain, seperti Kartini bisa sampai saat ini berkat bantuan kakaknya Kartono.
“Seorang tidak akan berhasil tanpa bantuan para elemen yang lain. Dan Yuni termasuk orang yang didukung oleh subjek lain. Jangan bilang orang tua Yuni itu kolot justru orang tua Yuni mendukungnya,” pungkas Firman.
Sementara Linda, salah seorang peserta bedah buku, mengomentari film Yuni yang dibuka dengan adegan Yuni yang sedang memakai celana dalam yang menurutnya adalah adegan fulgar.
Ini menumbuhkan persepsi bahwa film Yuni membawa semacam kesan meliberalisasi agama.
“Mengapa film Yuni dibuka dengan satu adegan yang bisa dibilang fulgar? Bahkan beberapa grup di lingkungan saya mengatakan bahwa film ini mengandung unsur liberal dan melazimkan sesuatu yang bertentangan dengan agama?” tanyanya.
Firman Venayaksa menjawab, Yuni adalah wahana yang menjembatani antara realitas yang divisualkan.
Diwujudkan dengan adegan, semiotik dan warna sebagai representasi kritik terhadap keadaan yang berlangsung di dunia sebenarnya.
“Jika publik kemudian membangun persepsi Yuni meliberalisasi agama, menurut saya lebih tepat dikatakan kalau Yuni meliberasi pilihan. Yuni adalah sebuah subjek yang menjalankan unsur kritis. Melakukan perlawan terhadap konsep patriarki yang meraja di lingkungannya. Membawa gagasan bahwa perempuan tidak selalu menjadi second person dalam konsep feodal,” pungkasnya. ***