Oleh : H Yasin Muthohar
Ungkapan Imaanan Wahtisaaban adalah ungkapan yang populer kita didengar setiap kali memasuki bulan Ramadan. Makna Imaanan Wahtisaaban adalah karena iman dan mengharap ridha Allah. Ungkapan ini setidaknya akan kita jumpai dalam tiga hadist Nabi SAW berikut:
“Siapa yang berpuasa Ramadan karena Iman (Iimaanan) dan semata mengharap ridha Allah (Ihtisaaban) pasti Allah akan mengampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Bukhari Muslim)
“Siapa yang melakukan salat qiyam (baca: salat tarawih) karena iman dan semata mengharap ridha Allah pasti Allah akan mengampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Bukhari Muslim)
“Siapa yang menghidupkan lailatul qadar dengan salat karena iman dan semata mengharap ridha Allah pasti Allah akan mengampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Apa maksud Imaanan dan Ihtisaaban itu? Bacaan imaanan dan Ihtisaaban yang berbunyi fathatain (baca: nashab: salah satu bentuk bacaan akhir kata dalam bahasa arab) menunjukkan makna maf’ul min ajlih (yaitu motif atau alasan dari suatu perbuatan). Maksudnya siapa yang menjadikan Iman dan tujuan karena Allah sebagai motif berpuasa, motif salat tarawih dan motif menghidupkan lailatul qadar, maka pasti Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Hadits di atas mengajarkan kita untuk selalu melakukan perbuatan karena motif iman dan ihtisab sebagaimana kita melakukan ibadah puasa, tarawih dan menghidupkan lailatul qadar.
Menjadikan iman sebagai motif berbuatan maksudnya adalah kita menjalankan suatu amal karena kita menyadari bahwa dibalik kehidupan ini ada Allah, Sang Pencipta yang telah menetapkan perintah dan larangan untuk kebaikan makhluk-Nya. Allah telah mengutus Rasulnya dengan membawa wahyu yang menjelaskan perintah dan larangan-Nya. Kita juga menyadari bahwa setelah kehidupan ini aka ada kehidupan akhirat, dimana semua manusia akan diminta pertanggungjawaban tentang amal yang dilakukan di dunia ini.
Seorang mukmin menjalani ibadah ritual, menjalani kehidupan berkeluarga, bergaul, mendidik, belajar, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan bernegara sejatinya menjalani semua itu hanya karena tuntutan iman dan tujuan untuk menggapai ridha Allah bukan yang lain.
Orang yang melakukan amal perbuatan atas dasar iman dan semata untuk menggapai ridha Allah adalah orang yang bertakwa. Amalnya dijamin diterima. Allah berfirman: “Sungguh Allah hanya akan menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Maidah: 27)
Sungguh rugi orang yang berkarya, banyak berbuat untuk kemanfaatan orang lain, melakukan kebaikan di dunia ini, namun kelak di akhirat akan didapati semua amal baiknya bagaikan debu yang berhamburan. Itulah kebaikan-kebaikan orang yang tidak beriman. Kebaikan orang yang tidak menjadikan iman sebagai motif berbuatannya.
Amal yang dilakukan atas dasar iman dari sisi pelaksanaan pasti akan selaras dengan syariat Allah, yaitu aturan main dalam beramal. Tidak bisa dikatakan sudah mejalankan amal atas dasar iman jika perbuatan kita bertentangan dengan Syariat Allah. Orang yang telah beriman dengan sebenar-benarnya iman pasti amalnya akan menjadi saleh. Yaitu amal kebaikan yang sesuai dengan syariat Allah.
Iman dan amal saleh adalah dua perkara yang tidak bisa dipisahkan. Karena itulah di dalam Al-Qur’an kita akan menemukan banyak sekali prasa alladziina amanuu selalu disandingkan dengan prasa wa’amilush shoolihaati. Setidaknya kita akan menemukan prasa tersebut diulang sebanyak 50 kali.
Amal saleh yaitu amal yang sesuai dengan tuntutan syariat, cakupannya sangat luas, ada dalam semua dimensi kehidupan. Amal saleh bukan hanya salat dan ibadah ritual, tapi juga menata pergaulan dan hubungan sosial, menata ekonomi, menata pendidikan dan budaya, menata politik dan negara. Jika semua itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat maka disebut amal saleh.
Amal saleh yang dijalankan atas dasar iman dan semata mengharap ridha Allah pasti akan melahirkan keberkahan, akan melahirkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat nanti.
Allah berfirman: “Siapa saja yang beramal saleh dari kalangan laki-laki dan wanita dalam keadaan beriman, pasti kami benar-benar akan menyiapkan untuknya kehidupan yang baik. Dan kami pasti membalasnya dengan yang lebih baik dari apada apa yang telah mereka lakukan.” (QS. An-Nahl : 97)
Kehidupan yang baik di dunia adalah berupa kemakmuran, keberlimpahan, ketenangan dan ketentraman, keadailan dan kemajuan. Kehidupan yang baik di akhirat nanti adalah kehidupan surga yang penuh dengan kenikmatan yang belum pernah ada dan belum pernah terbayang di dunia ini. ***
Penulis adalah Mudir Ma’had Al Abqary Serang, Banten
















