BANTENRAYA.COM – Inilah informasi mengenai bacaan niat puasa Ramadhan yang kerap menjadi bahan pertanyaan.
Pasalnya, tak jarang yang masih kebingungan akan bacaan niat puasa Ramadhan terutama lafal Ramadhana atau Ramadhani yang digunakan.
Untuk mengetahui penjelasannya, dapat disimak mengenai bacaan niat puasa agar tidak keliru.
Pemerintah melalui Kementrian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Ramadhan 2024 atau 1445 H pada Selasa, 12 Maret 2024.
Penetapan awal Ramadhan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas.
Memasuki bulan suci Ramadhan, umat Islam di penjuru dunia tak terkecuali di tanah air mneyambutnya dengan penuh suka cita.
Baca Juga: Kepala Kantor Kemenag Kota Serang Encep Safrudin Muhyi Sambut Ramadhan 2024, Ini Katanya
Adapun dalam praktiknya, salah satu rukun ibadah puasa Ramadhan yaitu dengan membaca niat.
Dalam membacakan niat puasa, tak jarang menjumpai perbedaan dalam lafal yang diucapkan.
Terutama pada bagian harakat kata رمضان dibaca Ramadhana atau Ramadhani ketika membacanya.
Perbedaan versi tersebut tak jarang menjadi pertanyaan bagi umat Islam yang akan menjalankannya ibadah sebulan penuh itu.
Adapun niat yang biasanya digunakan yang ketika dibaca pada malam hari yaitu sebagai berikut
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Namun seperti yang dikutip dari laman NU Online, menurut kaidah ilmu nahwu lafal tersebut dikatakan kurang tepat.
Jika akan membacanya Ramadhana (dengan harakat fathah), maka kalimat selanjutnya adalah hadzihis sanata (sebagai dharaf zaman/keterangan waktu), bukan hadzihis sanati.
Ramadhana dibaca fathah sebagai alamat jar karena termasuk isim ghairu munsharif yang ditandai dengan tambahan alif dan nun sebagai illat nya.
Artinya, boleh membaca ramadhana dengan syarat kalimat selanjutnya hadzihis sanata. Namun, yang seperti ini jarang diungkapkan dalam kitab-kitab fiqih.
Sedangkan yang paling lazim digunakan membacanya dengan harakat kasrah yaitu ramadhani.
Yakni dengan meng-idhafah-kan (menggabungkan) dengan kata sesudahnya. Sehingga, kalimat tersebut tidak lagi ghairu munsharif sehingga berlaku hukum sebagai isim mu’rab pada umumnya.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî alias Ibnu Malik dalam nadham Alfiyah:
Baca Juga: Gelisah dengan Rencana Shin Tae-yong, Pelatih The Golden Star Kena Tuntutan Media Vietnam
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤ مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ
Artinya: Tandailah jar isim ghairu munsharif dengan fathah, selagi tak di-idhafah-kan (digabung dengan kata setelahnya) atau tidak menempel setelah ‘al’.
Jika ramadhani diposisikan sebagai mudhaf (di samping sekaligus jadi mudhaf ilaih-nya ‘syahri’) maka ‘hadzihis sanati’ mesti berposisi sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah.
Pembacaan dengan model mudhaf-mudhaf ilaih tersebut yang paling dianjurkan. Sehingga bacaan yang tepat dan sempurna ialah sebagai berikut:
Baca Juga: Profil Kai Havertz: Dari Pemain yang Diragukan Kini Menjelma Menjadi Bintang Baru Arsenal
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardlu di bulan Ramadlan tahun ini karena Allah Ta’ala.
Sebagai informasi, kurang tepatnya dalam melafalkan niat sendiri tidak berpengaruh pada keabsahan puasa selama diniatkan dalam hati untuk berpuasa.
Seperti halnya dikatakan niat berhubungan dengan getaran batin.
Baca Juga: Imbas Hujan Deras Disertai Angin Kencang, Rumah Warga Mancak Hancur Tertimpa Pohon
Sehingga ucapan lisan hanya bersifat sekunder belaka. Tetapi, kurang tepatnya akan menimbulkan rasa janggal terutama di mata para ahli gramatika Arab.***



















