BANTENRAYA.COM – Membaca niat merupakan salah satu rukun puasa Ramadhan.
Ketika membaca niat puasa Ramadhan tidak jarang menjumpai perbedaan dalam kalimat yang diucapkan.
Dimana, bagian harakat kata رمضان dibaca Ramadhana atau Ramadhani ketika membacakan kalimat niat puasa Ramadhan.
Tak jarang, perbedaan versi tersebut menjadi pertanyaan untuk umat Islam yang akan menjalankannya sebulan penuh itu.
Niat puasa sendiri merupakan salah satu yang harus dilakukan ketika akan menjalankan kegiatannya.
Di samping itu, dianjurkan melakukan ibadah sesuai dengan ketentuannya supaya mendapat kesempurnaan dalam ibadahnya.
Baca Juga: Industri Sebut Sekolah di Cilegon Belum Nyambung dengan Kebutuhan Pabrik, Termasuk Jurusan Tata Boga
Biasanya dalam membaca niat puasa, lafal yang digunakan ketika dibaca pada malam hari sebagai berikut
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Namun seperti yang dikutip dari laman NU Online, menurut kaidah ilmu nahwu lafal tersebut dikatakan kurang tepat.
Jika akan membacanya Ramadhana (dengan harakat fathah), maka kalimat selanjutnya adalah hadzihis sanata (sebagai dharaf zaman/keterangan waktu), bukan hadzihis sanati.
Ramadhana dibaca fathah sebagai alamat jar karena termasuk isim ghairu munsharif yang ditandai dengan tambahan alif dan nun sebagai illat nya.
Artinya, boleh membaca ramadhana dengan syarat kalimat selanjutnya hadzihis sanata. Namun, yang seperti ini jarang diungkapkan dalam kitab-kitab fiqih.
Baca Juga: Polda Banten Bongkar Praktik Curang Penjualan BBM Jenis Pertalite di Tangerang, Ini Modusnya
Sedangkan yang paling lazim digunakan membacanya dengan harakat kasrah yaitu ramadhani.
Yakni dengan meng-idhafah-kan (menggabungkan) dengan kata sesudahnya. Akibatnya, kalimat tersebut tidak lagi ghairu munsharif sehingga berlaku hukum sebagai isim mu’rab pada umumnya.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî alias Ibnu Malik dalam nadham Alfiyah:
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤ مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ
Artinya: Tandailah jar isim ghairu munsharif dengan fathah, selagi tak di-idhafah-kan (digabung dengan kata setelahnya) atau tidak menempel setelah ‘al’.
Jika ramadhani diposisikan sebagai mudhaf (di samping sekaligus jadi mudhaf ilaih-nya ‘syahri’) maka ‘hadzihis sanati’ mesti berposisi sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah.
Pembacaan dengan model mudhaf-mudhaf ilaih tersebut yang paling dianjurkan.
Sehingga bacaan yang tepat dan sempurna adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Artinya: Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardlu di bulan Ramadlan tahun ini karena Allah Ta’ala.
Baca Juga: Sebelum All England 2023, Mohammad Ahsan Bilang Begini ke Istrinya dan Ternyata Mengalami Cedera
Sebagai informasi, kurang tepatnya dalam melafalkan niat sendiri tidak berpengaruh pada keabsahan puasa selama diniatkan dalam hati untuk berpuasa.
Seperti halnya dikatakan niat berhubungan dengan getaran batin.
Sehingga ucapan lisan hanya bersifat sekunder belaka. Tetapi, kurang tepatnya akan menimbulkan rasa janggal terutama di mata para ahli gramatika Arab.***