BANTENRAYA.COM – Nabi Muhammad Saw menjadi nabi dan rasul akhir zaman dan penutup para pembawa risalah agama Allah.
Rasulullah Muhammad bukan saja menjadi nabi dan rasul yang terus membawa risalah tauhid. Namun Nabi Muhammad juga menjadi teladan akhlak bagi umat manusia.
Dibandingkan para nabi dan rasul lainnya, maka akhlak dan prilaku nabi Muhammad menjadi yang terbaik.
Hal itu yang menjadikan para umat muslim terus merayakan maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad untuk meneladani sifat dan perjuangannya menegakkan jalan Allah.
Di sebagian penjuru dunia umat muslim merayakannya dengan berbagai kegiatan, mulai dari ceramah agama, pengajian hingga panjang maulid yang ada di Indonesia.
Perayaan sendiri dimaksudkan agar kita sebagai umatnya mendapatkan syafaat beliau di akhirat nanti.
Dikutip BantenRaya.Com dari nu.or.id pada Rabu 5 Oktober 2022, berikut dalil-dalil yang menguatkan dibolehkannya perayaan maulid Nabi Muhammad yang Insya Allah bagi yang ikut akan mendapatkan syafaatnya di hari akhir.
Dalam berbagai dalil tersebut juga dikuatkan dengan para pendapat ulama, termasuk ulama yang termasyhur sepertimu An Nawasi Al Bantani dan Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Baca Juga: Hari Guru Sedunia 5 Oktober Dipusatkan di Paris
Para ulama tersebut secara tegas menyatakan jika Maulid menjadi bentuk kecintaan kepada orang salih termasuk nabi Muhammad, jika itu dilakukan maka itu termasuk orang yang mengikuti jalan orang-orang salih.
Rasullah sendiri menjamin pada umatnya yang mencintai beliau dan ikut dalam ajarannya akan dikumpulkan bersamanya nanti di akhirat atau hari pembalasan.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh, beliau berkata, Ya Rasulallah siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaatmu di hari kiamat?
Nabi menjawab, wahai Abu Hurairah, sungguh aku menduga belum ada seorang pun yang bertanya sebelum kamu yang menanyakan hal tersebut, karena aku mengetahui kecintaanmu kepada hadits. Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang berkata Lâ ilâha illa Allâh dengan tulus dari hatinya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan:
“Urwah berkata, Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, untuk kemudian menyusui Nabi.
Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi bahwa Abu Lahab mendapatkan siksa yang buruk.
Di dalam mimpi itu, Abu Lahab ditanya. Apa yang engkau temui? Abu Lahab menjawab, aku tidak bertemu siapa-siapa, hanya aku mendapatkan keringanan di hari Senin karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah.”
Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menegaskan:
“Meski riwayat ini mursal, namun dapat diterima, karena al-Bukhari mengutipnya, ulama dari kalangan huffazh (penghafal hadits) juga berpegangan dengan riwayat ini, dan karena riwayat ini menjelaskan manaqib dan kekhasan seseorang, bukan urusan halal-haram.
Para penuntut ilmu tentu mengetahui perbedaan antara mengambil dalil hadits di antara tema manaqib dan hukum.”
(Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.14).
Dalam hal ini, al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi, sebagaimana dikutip Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:
“Bila Abu Lahab ini adalah seorang non-Muslim yang jelas dicela dalam ayat ‘tabbat yada’, ia kekal di neraka Jahim.”
“Ia mendapatkan keringanan siksa di setiap hari Senin, karena gembira atas kelahiran Nabi Ahmad.”
“Bagaimana dugaanmu terhadap seorang hamba yang bergembira atas kelahiran Nabi Ahmad di sepanjang umurnya dan mati dalam keadaan bertauhid?”
Baca Juga: Jangan Salah! Ini Bedanya Kupat Tahu dan Kupat Sayur, Kuliner Kota Serang
(Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal. 14)
Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:
“Tujuan perkumpulan ini bukan sebatas perkumpulan dan seremonial belaka, namun menjadi perantara mulia untuk maksud yang mulia, ini dan itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan faidah untuk agamanya, maka ia terhalang dari kebaikan-kebaikan maulid Nabi yang mulia.”
(Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.10).
Baca Juga: SD Negeri 12 Cilegon Kebakaran, Tiga Ruang Kelas Hangus
Dalam sebuah hadis dijelaskan:
“Dari sahabat Anas, sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, kapan hari kiamat terjadi ya Rasul? Nabi bertanya balik, apa yang telah engkau persiapkan? Ia menjawab, aku tidak mempersiapkan untuk hari kiamat dengan memperbanyak shalat, puasa dan sedekah. Hanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata, engkau kelak dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mengomentari hadits tersebut, Al-Imam al-Nawawi mengatakan:
“Hadits ini menjelaskan keutamaan cinta Allah, Rasul, orang-orang shaleh dan ahli kebaikan, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Di antara keutamaan mencintai Allah dan RasulNya adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya serta beretika dengan etika-etika syar’i.
Tidak disyaratkan untuk mendapatkan manfaat dengan cara mencintai orang-orang shaleh, berperilaku seperti mereka, sebab jika demikian, maka ia termasuk golongan mereka. Nabi telah menjelaskan hal ini dalam hadits setelah ini. (al-Imam al-Nawai, Syarh Muslim, juz.16, hal,186) (***)



















