Oleh: Riswanda
Rubrik tulisan kali ini bisa dikatakan ulas dari Sorotan Riswanda (2022) sebelumnya ‘Taksir Kebijakan Pangan Nasional, Bertanya pada Siapa?’. Terilhami gagasan besar Presiden Pertama Republik Indonesia, yang akrab disapa Bung Karno.
Keakraban “kenalsapa” figur dan pemikiran beliau, meski mungkin jauh terpisah era tangga politik, merupakan nilai tersendiri ide kebangsaan Bung Karno. Bahwa kemudian ada kontroversi relung pemikiran berbagai kacamata pandang, sewajarnya terjadi pada proses dialektika vista tiap beda karakteristik insan Nusantara.
Pemikiran marhaenisme semestinya mengilhami kajian serius berisi peta sosial masyarakat Nusantara. Kenapa seperti itu? Meski sering disalahtafsirkan identik dengan marxisme, pesan dari perenungan marhaen adalah bagaimana profesi petani termiskinkan secara sistemik.
Benang merah ketahanan pangan berada pada titik dimana ‘Taksir Kebijakan Pangan Nasional’ diperlukan (Riswanda 2022). Kepemilikan lahan tani, akses terhadap pasar hasil tani, berlanjutnya krisis pangan dalam negeri, dan terutama belum seriusnya upaya regenerasi petani Indonesia sebaik-baiknya merupakan persentuhan pemikiran Bung Karno dengan hawa ketahanan pangan sekarang.
Menyimak pusaka intelektual Bung Karno, ‘Pangan adalah hidup matinya bangsa’. Tekanan nada utopis tadi dibumikan Bung Karno dengan tidak sekadar mengejar ekstensifikasi, intensifikasi, pengembangan pertanian lahan kering, kajian bibit dan pendekatan-pendekatan program studi ilmu pertanian lainnya.
Penting dijadikan sorotan kebijakan, Bung Karno menggalakkan program demokratisasi kepemilikan kapling pertanian di wilayah perdesaan, sekaligus demokratisasi praktek bagi hasil pertanian. Payung UU nomor 5 tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) tercatat sebagai wujud intervensi kebijakan tempo dulu.
Era 1940, Bung Karno lebih dulu bicara kebijakan berbasis data dalam langkah politik. Bung Karno langsung bicara statistik pangan. Mencuplik pidato beliau saja, per individu Indonesia tercatat memajuh 86 kilogram beras dalam satu warsa. Ditaksir lebih kurang 75 juta jumlah penduduk Indonesia waktu itu, membutuhkan 6,5 juta ton produksi beras. Sedangkan produksi beras hanya 5,5 juta ton. Bung Karno belajar dari keterpaksaan impor beras dari diantaranya Thailand dan Vietnam.
Lalu, apa pembelajaran kebijakan politik yang dapat diambil dari warisan pemikiran tersebut? Jawabannya adalah akselerasi kebijakan pembangunan. Kupasan pembangunan nasional mestinya menyertakan ukuran kesejahteraan yang juga mencakup pengindahan akan kualitas hidup, dan tidak belaka ukuran agregat ekonomi.
Tentu saja tolak ukur kematangan, ketimpangan ataupun ketertinggalan wajib mendapat perhatian. Indeks Pembangunan Manusia selaras dengan parameter partisipasi publik dalam pembangunan. Kenapa harus melirik pada ‘big picture’? Pemetaan masalah ketahanan pangan perlu menyertakan upaya bersungguh-sungguh cipta program ‘Titian Perkotaan dan Perdesaan’ (Riswanda 2022).
Selain gesekan sosial budaya, ketimpangan akses terhadap sumber pendapatan berpengaruh pada ukuran kualitas hidup (dari penggiat pertanian di perdesaan misalnya). Rekonstruksi sosial perlu menakar seberapa jauh dan dengan cara bagaimana intervensi sosial dapat dilakukan (Riswanda 2022).
Presiden Joko Widodo menyeru masyarakat untuk berpartisipasi aktif memanfaatkan lahan kosong. Seperti dilansir banyak media, Presiden menganjurkan masyarakat menanam porang, jagung, sorgum, dan tanaman lainnya.
Selain kemudian memberi mandat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memfasilitasi rakyat perihal upaya ini. Disambung perintah bagi seluruh Pejabat kepala daerah untuk serius menggunakan lahan milik negara yang kosong.
Legacy optimisme Bung Karno masuk disini. Meskipun, pendalaman kajian pertanian sosial, food estate, dan pertanian berbasis skala ekonomi luas tentu sangat dibutuhkan, utamanya ketika menyinggung wilayah perkotaan. Dan tidak berhenti hanya di tataran wacana siang hari. Bagaimana caranya?
Berguru pada Bung Karno yang tidak segan belajar (dan bukan latah meniru habis) pengalaman negara lain. Logika kenormalan, profesi petani dan penggiat pertanian wajib mendapat pencerahan edukatif lebih dulu. Terlebih saat ini sepertinya publik mengakses banyak hal dari literasi publik di media daring.
Era dimana siapa saja dapat menjadi sumber informasi, kewaspadaan bangsa sekali lagi perlu memberikan khasanah intelektual pada tebaran drama pesimistis kampiun-kampiun wacana, yang relatif hanya bisa mengkritik sambil menyeruput kopi hangat pasca bangun kesiangan. Bung Karno mengingatkan, ‘pendidikan adalah cermin kehidupan sebuah bangsa’.
Sekarang pendidikan tidak hanya terpancang di bangku sekolah dan di kampus formal. Tidak keliru jika komunikasi kebijakan pemerintah disampaikan lebih dari cuplikan pemberitaan di media. Platform edukatif seperti ‘studyworkgrow’ berisi ‘How to become a Farmer’, milik Negeri Kangguru laik didukung pendanaan pemerintah pada skala luas penerapannya.
Tidak ada salahnya jika Nusantara juga memiliki Indonesiafarmers.ac.id katakanlah bergitu, sedikitnya belajar dari Australian Farmers (https://farmers.org.au/news/how-to-own-your-own-farm/). Mengentaskan persoalan de-generasi petani (Riswanda dkk 2018) dengan lebih dulu menjaga dan menaikkan marwah profesi petani.
Barangkali, pembacaan arsiran UMKM dengan nilai kreatif budaya dan pertanian, jernih kebutuhan lintas kedinasan Kementan dan Kemenbudpar saat ini. Kalau perlu, ditunjang pula dengan harapan target pengembangan oleh Kemenkominfo, terkait bagaimana serapan TIK / transformasi digital tidak belaka di peremajaan tampilan daring. Tetapi, lebih pada nilai kebermanfaatan dan utamanya fungsi digitalisasi tersebut. ***

















