BANTENRAYA.COM – Pengenaan pajak hiburan sebesar 45 sampai 75 persen pada tahun 2024, masih menjadi polemik bagi kalangan pengusaha, karena dinilai terlalu tinggi.
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Provinsi Banten GS Ashok Kumar bilang, apabila pemerintah daerah menetapkan pajak hiburan 40 sampai 75 persen akan memberatkan para pelaku usaha yang bergerak di bidang tersebut.
“Kalau pajak hiburan paling rendah dikenakan 40 persen dan paling tinggi 70 persen, kenapa tidak sekalian saja 100 persen biar tutup,” kata Ashok saat dikonfirmasi Banten Raya melalui telepon seluler, Minggu, 14 Januari 2024.
Sebagai informasi, besaran pajak hiburan tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Baca Juga: KLIK DISINI! Tiga Cara Bersihkan BI Cheking Supaya Mudah Ajukan Kredit ke Bank
UU tersebut menetapkan pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT seperti makanan dan minuman, jasa perhotelan, dan jasa kesenian paling tinggi 10 persen.
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, pajaknya ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Ashok melanjutkan, kenaikan pajak hiburan juga dinilai tidak mengakomodir pihak terkait, yaitu melibatkan pihak asosiasi, akademisi dan komunitas sehingga terkesan memaksakan.
“Padahal dibuat tahun 2022 kenapa baru ramai sekarang, kalau memang naiknya satu atau dua persen masih oke sementara ini terlalu tinggi, harusnya dilakukan sosialisasi terlebih dahulu,” lanjut Ashok.
Baca Juga: Menangi Derbi London, Chelsea Mulai Jajaki Zona Eropa
Selain itu, Ashok juga mempertanyakan skema perhitungan yang dikenakan pajak tersebut yang tidak sesuai, dan perlu dikaji ulang agar menyesuaikan dengan pendapatan pelaku usaha.
“Sah-sah saja kalau mau menaikan pajak, namun dengan parameter yang jelas, orang juga punya profil margin,” imbuhnya.
Meski demikian, Ashok mengajak para stakeholder pemerintahan untuk sama-sama membahas terkait pajak hiburan tersebut, karena penerapan pajak hiburan merupakan kewenangan dari pemerintah daerah.
“Bukan berarti kami anti dengan hal tersebut, namun kami mengajak para legislatif dan pemerintah untuk sama-sama membahas hal ini, semua undang-undah dan peraturan pemerintah bisa di amandemen kecuali Al-Qur’an,” papar Ashok.
Baca Juga: Lima Saham Dengan Dividen Yield Paling Tinggi Tahun 2024
Sementara itu berdasarkan data Kementerian Keuangan, terjadi kenaikan signifikan atas pajak hiburan di tahun 2023 sebagai bagian dari penerimaan pemerintah daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, penerimaan pajak hiburan hingga November 2023 meningkat 41,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2022.
“Kontribusi ekonomi daerah seperti hotel, restoran mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi hingga November 2023 dibandingkan tahun 2022. Pajak hiburan naik 41 persen mencapai lebih dari Rp2 triliun, pajakhotel tumbuh 46 persen mencapai Rp8,5 triliun, restoran tumbuh 20 persen mencapai 13,6 triliun,” kata Sri Mulyani.***