BANTENRAYA.COM – Kali ini umat Muslim telah sampai pada awal bulan syawal, setelah melaksanakan Lebaran Idul Fitri 1446 Hijrah atau 2025 Masehi.
Biasanya, saat memasuki bulan syawal atau setelah Lebaran Idul Fitri, muncul sebuah tradisi umat Muslim untuk melangsungkan pernikahan.
Banyak orang dari umat Muslim memilih tanggal akad nikah pada bulan syawal, tepatnya setelah Lebaran Idul Fitri.
Baca Juga: Mulai 10 April! Program Pemutihan Pajak Kendaraan Banten 2025, Berikut Dokumen Persyaratannya
Hal tersebut terjadi sebuah tradisi melangsungkan pernikahan pada bulan syawal atau setelah Lebaran Idul Fitri karena adanya kesunahan.
Apabila kita melihat sejarah, dapat kita temukan apabila di bulan syawal ini dianggap oleh masyarakat jahiliah pra-Islam sebagai bulan yang buruk, kehancuran, dan pemecah belah masyarakat.
Anggapan dari masyarakat jahiliah pra-Islam semacam ini berdampak buruk pada apapun jalinan hubungan yang terjadi antara suami dan istri.
Dikutip Bantenraya.com dari laman islam.nu.or.id, berikut penjelasan nikah di bulan syawal: mengubah tradisi jahiliah.
قالَ ابنِ دُرَيْدٍ: زَعَمَ قَوْمٌ أنَّه سُمِّيَ} شَوَّالاً لأنَّهُ وَافَقَ وَقْتاً {تَشُولُ فيهِ الإِبِلُ: أَي تَرْفَعُ ذَنَبَها، وَهُوَ قَوْلُ الفَرَّاءِ
Artinya:
“Ibnu Duraid berkata: suatu kelompok meyakini Syawal dinamakan demikian karena bertepatan dengan waktu unta-unta mengangkat ekornya. Ini adalah pendapat Imam Al-Farra’.” (Sayyid Murtadho Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, Juz 29 hal. 304).
Kondisi seperti ini pertanda jika terjadi perkawinan di antara unta tersebut, jalur perkawinannya (persetubuhannya) terhalang apabila unta-unta itu menaikkan ekor mereka.
Baca Juga: Usai Lebaran, Pengguna Jasa Pelabuhan Merak Menuju Sumatera Masih Ramai
Pendapat lain kata Az-Zabidi, ada yang mengatakan bahwa di saat itu adalah waktu unta-unta berkurang air susunya. Sama halnya di waktu musim yang sangat panas dan kelembaban berkurang.
Apabila diperhatikan, kedua makna tersebut memiliki konotasi yang negatif, hal tersebut yang kemudian diyakini oleh masyarakat Arab Jahiliah bahwa melangsungkan pernikahan di bulan Syawal akan membawa malapetaka dan kesialan. Mereka menyamakannya dengan kebiasaan hewan unta di waktu tersebut.
وكانَتْ العَرَبُ تَطَيَّرُ مِنْ عَقْدِ المَناكِحِ فِيهِ، وتقولُ: إنَّ المَنْكُوحَةَ تَمْتَنِعُ مِن ناكِحِها، كَمَا تَمْتَنِعُ طَرُوقَةُ الجَمَلِ إِذا لَقِحَتْ وشالَتْ بِذَنَبِها فأَبْطَلَ النَبِيُّ، صلى الله عَلَيْهِ وَسلم طِيرَتَهُم
Artinya:
“Orang Arab menanggap sial melakukan akad pernikahan di bulan Syawal, mereka berkata: sungguh wanita yang dinikahi terhalang disetubuhi suaminya, sebagaimana terhalang jalan masuk (kelamin) unta-unta apabila hewan itu melakukan perkawinan dan mengangkat ekornya. Nabi Muhammad lalu menghilangkan anggapan kesialan mereka” (Sayyid Murtadho Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, hal. 304).
Baca Juga: Kamis, Program Penghapusan Pajak Kendaraan Bermotor Dimulai
Setelah agama Islam datang, hal tersebut dapat diobati sebisa mungkin oleh Rasulullah SAW. Salah satunya lewat jalur amaliah (praktik) beliau dengan melangsungkan pernikahan dan juga bersetubuh dengan Aisyah di bulan Syawal.
Alhasil, keyakinan buruk, asumsi negatif, dan segala bentuk tuduhan miring terkait nikah di bulan Syawal berubah menjadi sebuah sunah yang dianjurkan hingga sekarang. Karena sebagai bentuk imtisal (melaksanakan) apa yang pernah dikerjakan oleh Nabi.
Para ulama terkemuka dalam bidang hadits pun banyak yang memberikan bahasan khusus terkait kapan disunahkannya menikah dalam karya-karya mereka. Imam Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Imam Ahmad dan lainnya, mereka sama berpendapat dianjurkannya menikah di bulan Syawal. ***