SERANG, BANTEN RAYA-Dalam menulis sebuah buku fiksi tetap membutuhkan riset dan data. Hal tersebut disampaikan Nidu Paras Erlang saat menjadi pembicara dalam Diskusi Bedah Buku Burung Kayu karangannya, yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Banten dalam rangkaian Festival Hari Buku Nasional (FHBN) 2021, di Kampus Sindangsari Untirta.
Dalam paparannya Nidu sapaan akrabnya menyampaikan bahwa dalam sastra Indonesia nyaris tidak ada yang bercerita tentang Mentawai. Kondisi tersebut dijadikan peluang baginya untuk menulis tentang Mentawai dengan judul Burung Kayu.
Ia mengaku, buku tersebut didanai oleh Kantor Bahasa Indonesia, oleh karena itu usulan dalam penulisan buku pun harus rasional. Nidu pun mengakui bahwa proses penulisan buku relatif memakan waktu yang cukup lama, karena dalam buku Burung Kayu tersebut membahas kondisi dan perkembangan masyarakat Mentawai.
Nidu mengisahkan bahwa Mentawai tidak memiliki struktur tradisional sepertihalnya masyarakat Baduy, Banten. Hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk mendokumentasikan kondisi tersebut dalam bentuk karya tulis.
“Tentunya saya lebih selektif dalam mencari data dan melakukan riset, karena buku ini harus dibaca dari awal sampai akhir agar bisa mudah dipahami,” kata Nidu, kemarin.
Dalam membagi pengalamannya dalam menulis buku Burung Kayu, Nidu mengatakan banyak fakta yang didapatkan di lapangan, dan riset pustaka yang diolah menggunakan imajinasi dan perangkat sastra lainnya untuk melengkapi tulisannya.
Bagian tertentu memang merupakan hasil rekayasa dengan membayangkan fakta, karena fakta dan data tidak bisa ditampilkan secara mentah dalam karyanya tersebut. Namun harus diolah agar menarik untuk dibaca. Misalnya, nama suku yang disamarkan dengan nama tumbuhan atau lingkungan. Karena suku di Mentawai diambil dari nama tumbuhan dan lingkungan.
“Banyak fakta sosial yang memang terjadi dan dialami oleh masyarakat Mentawai, termasuk kebijakan pemerintah yang masuk dalam tulisan saya,” ujarnya.
Kesadarn terhadap adat di Mentawai baru muncul beberapa tahun belakangan, lanjut Nidu, hal tersebut disebabkan adanya dorongan dari aktivis dan lembaga yang memberikan pemahaman kepada masyarakat Mentawai.
Ia menambahkan, masyarakat Mentawai lebih mementingkan suku, sedangkan suku di Mentawai hanya terdiri dari satu sampai dua keluarga yang hidup dalam satu rumah besar. Jika ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan, maka suku tersebut akan memisahkan diri dan membentuk suku baru. “Makanya di Mentawai banyak suku,” imbuhnya. (satibi)