Luapan kejengkelan Presiden Joko Widodo pada kesempatan menyampaikan arahan perihal tentang ‘aksi afirmasi bangga buatan Indonesia’ (CNN Indonesia 2022, 25 Maret), patut dijadikan perhatian dan pembelajaran.
Sorotan Presiden terarah menteri, kepala lembaga, kepala daerah, dan BUMN yang kurang mencermati penubuhan logistik barang dan jasa dengan asal dalam negeri baru atau made in Indonesia.
Kerungsingan Presiden sebetulnya terletak pada impor alat pertanian, alkes, CCTV dan lainnya.
Teguran mempertanyakan kenapa tidak memakai produk UMKM dalam negeri, dan justru malah mengimpor.
Alokasi tidak tanggung menggelontor 214 triliun rupiah per hari ini, sebanding 14 persen total anggaran 1.481 triliun rupiah. Sorotan Riswanda (2021, 2022) acap mengangkat kondisi UMKM di Indonesia.
Komunitas penggerak ekonomi faktual, di sela kebutuhan mendongkrak percepatan pemulihan ekonomi. Sebagian besar pelaku usaha di Indonesia merupakan pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah, bisa dikatakan 99 persen.
Lalu, apa kaitan prosentase terbilang dengan sentilan Presiden terkait kampanye bangga menggunakan produk dalam negeri? Barangkali, ikhtiar ‘bahagia menggunakan produk Indonesia’ mesti lebih serius digalakkan.
Menengok upaya negeri kangguru misal, tidak cukup sekadar mimpi indah dan tergopoh saat ditegur Presiden. Kebanggaan terhadap produk lokal dapat terkristal di benak warga Australia juga diberikan dengan role modelling pimpinan.
Publik sempat bertepuk tangan saat eksposur media menonjolkan Julia Gillard, Perdana Menteri Australia di periode silam tahun 2012, membeli Holden sebagai mobil pribadi. Tidak berhenti sampai menyimbolkan praktik baik, media lokal seperti Couriermail, Adelaidenow dan ABC meliput Perdana Menteri mereka menggelontorkan bantuan negara pada Industri mobil nasional tersebut.
Terlepas keberhasilan atau kegagalan uluran tangan pemerintah di contoh kasus ini, langkah kepala negara sekaligus mungkin menyelamatkan kebanggaan merk nasional Australia.
Berharap langkah ini menjadi contoh kepedulian terhadap aset berupa kebersarhatian terhadap hasil sendiri.
Kembali ke diskusi tanah air, cetak tebal UMKM menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia baru berbasiskan sebagian besar informasi dan data, menggarisbawahi perkembangan UMKM yang terus meningkat.
Pertanyaannya, apakah benar adanya? Hasil rilis dari Katadata Insight Center (KIC) mencatat 82,9 persen UMKM merasakan dampak buruk dari pandemic. 5,9 persen saja yang merasakan pertumbuhan positif.
Bank Dunia mendata sebanyak 86 persen pelaku UMKM mengalami penurunan penjualan di awal pandemi Covid-19, termasuk kesulitan dalam hal finansial dialami penggiatnya.
Melihat sejumlah produk regulasi eksisting seperti sertifikasi halal, social security (jaminan sosial), standar ISO, belum termasuk kisruh minyak goreng, penggiat tampaknya dihadapkan pada hambatan peran serta mereka untuk mendahulukan produk dalam negeri.
Dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, seperti dikutip di awal, Presiden Joko Widodo mewajibkan belanja barang dan jasa pemerintah pusat dan daerah melalui e-katalog. Pemerintah menargetkan pembelian produk melalui e-katalog mencapai 400 triliun rupiah.
Jokowi meminta Kepala daerah, gubernur, wali kota, bupati, serta lembaga dan kementerian untuk memprioritaskan UMKM masuk e-katalog. Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ikut diminta memantau pengadaan barang dan jasa pemerintah pusat dan daerah.
Pertanyaannya kemudian, apa yang menyebabkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia belum berjalan dengan baik? Mengapa sebagian pemerintah daerah,lembaga dan kementerian masih enggan membeli produk lokal? Adakah kepentingan yang membuat gerakan ini belum berjalan dengan maksimal? Adakah upaya tepat-sasar, sehingga gerakan itu bisa berjalan secara optimal?
Sistem perencanaan nasional yang mampu menyentuh akar permasalahan seyogyanya dibangun di atas penjabaran ‘praxis’. Atau merupakan konsepsi dari realitas permasalahan nasional. Arsiran aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam seringkali terlupakan untuk dicari irisan antisipasi dan solusinya.
Melirik kembali Negeri Kangguru, ucap tulis ‘proudly lokals’ hadir di banyak kebutuhan keseharian, bernilai plus turut membantu publik berdaya beli lemah. Tidak kalah banting secara kualitas dan harga dengan banjir produk impor negeri tiongkok. Artinya, kacamata ekonomi berpadan akrab kacamata sosial “happening” disini.
Bahkan berbungkus lensa budaya nasional ‘proudly Aussie’ misalnya. The official site of Australian Made, The mark of Aussie authenticity, hanya salah satu contoh kecil bagaimana irisan ekonomi-politik beririsan pendekatan sosial-budaya. Kebaruan perspektif di era disrupsi seperti saat ini.
Pendekatan inovatif di aspek pemgembangan pembangunan kewilayahan UMKM sebagai pemegang porsi besar produk dalam negeri, hendaknya merujuk pada basis data solid, dan bukan hanya reaksioner berbasis asumsi.
Nilai-nilai mengawang dan abtrak hasil pelatihan centang adminisrasi dan pola sertifikat berkala, cenderung telah terkikis zaman. Pendekatan kontemporer, semisal bagaimana memastikan kapasitas dan kapabilitas penggiat UMKM, serta Dinas eksekutor terkait di daerah bekerja profesional sesuai bidang keahlian — fit and proper— termasuk pekerjaan rumah selanjutnya.
Rincian langkah pemberdayaan komunitas ekonomi kreatif digital di jenjang mikro, dapat dimulai dengan setidaknya baseline data pemetaan unsur kelembagaan komunitas per wilayah target. Kajian perencanaan wilayah, seperti ketahanan sosial-budaya-ekonomi ‘proudly Indonesian’ katakanlah begitu, tidak cukup dengan mendorong diterapkannya definisi usang perencanaan tiga dekade lampau.
Penulis adalah associate professor analis kebijakan publik di Untirta










