Oleh: Riswanda PhD
Karya tulis bestari Tom Nichols berjudul ‘The Death of Expertise’ (Oxford University Press, 2017), bisa jadi merupakan permenungan yang patut dijadikan cerminan kritis zaman media baru atau ‘new media age’, mengutip terma Gunther Kress (2003).
Stadium dimana imaji dan tampilan visual, katakanlah begitu, mengaplus literasi dalam sajian buku. Lebih mengusik dalam buku Nichols sebetulnya adalah frasa sub judul bab ‘Negeri orang-orang sok tahu’. Renungan tentang ‘matinya kepakaran’ dan fenomena abainya masyarakat Amerika Serikat (AS) dewasa ini, dan mungkin juga cerminan orang kebanyakan di tengah banjir informasi.
Pengikut teori konspirasi, khalayak dan mahabintang menjadi saingan sumber pengetahuan bagi para spesialis atau ahli kebidangan tertentu.
Kenapa bisa seperti itu? Jumlah followers mencorakkan kepercayaan, membentuk apa yang kemudian dianggap benar.
Kesalahkaprahan makna nilai demokrasi terjadi. Patokan kebenaran (ilmiah) menjadi remang. Redupnya daya pikat ahli/ pakar sebagai sumber kekuatan intelektual, dan pemecah masalah publik, dapat mengarah pada pudarnya pegangan kebenaran.
Lantas kebenaran yang tidak benar sekali pun, asal diikuti banyak pengikut, melalui ritual bersama di ruang maya melahirkan apa yang dianggap benar.
Lalu bagaimana? Saat apa yang umumnya dikenal sebagai knowledge tidak mudah dipahami dan membumi, dan sumber informasi instan menggantikan pegangan ilmu. Maka yang dibutuhkan adalah bagaimana melabuhkan sumber pengetahuan ke dalam relung pikir tiap insan. Sistem pendidikan semestinya diarahkan pada pengembangan keterampilan berpikir.
Menelurkan nalar kritis dapat dimulai dari bagaimana memermak pengetahuan tacit menjadi explicit. Pembeberan bagaimana seseorang meraup pengetahuan, dan kelak mengamalkan kepandaian tersebut di ranah praksis, tentu patut.
Lebih wajib lagi mendorong tumbuhnya kecakapan cipta pengetahuan baru, benih pengetahuan yang sebelumnya sudah dikuasai. Kemampuan analitik harus dibangun sejalan dengan kemampuan menafsir. Membaca buku textbook dan memaparkan ikhtisar isi buku bacaan misalnya, diiringi latihan membedakan arti dan makna.
Muaranya, tumbuh iklim merenung dan menggali makna, mengkonsepsikan realitas berdasarkan olah pikir ilmiah dan bukan asumsi tak berdasar. Manakala kepakaran menjadi kiprah seseorang, kecakapan berpikir dibutuhkan.
Helicopter view, katakanlah begitu, membentuk kemampuan observasi, mengamati, dan mendalami jenggala informasi yang seolah disediakan era digitial sekarang. Proses ini bisa meleburkan pengetahuan bersumber pengalaman dari seorang tokoh, dengan buah pengetahuan sekuel pendidikan konvensional.
Pembelajaran konvensional umumnya terbatas di dalam kelas.
Di dunia 4.0 saat ini pembelajaran tidak terbatas ruang dan waktu. Begitupun ukuran sebuah kontribusi ilmiah. Kenapa harus terlalu banyak sekat sempit penyertaan atas nama rumah lembaga tertentu? Bukankah capaian wisdom (kebijaksanaan) sumbangsih ilmiah justru pada aspek dimana kebermanfaatan model pikir bermaslahat bagi publik.
Jangan-jangan, bidai parokial seperti ini yang mencetus ‘matinya kepakaran’, meminjam frasa Nichols (2017). Kuliah 4.0 hendaknya bukan hanya diartikan seumpama perjalanan tempuh menggapai selembar dokumen.
Kuliah 4.0 merupakan proses menciptakan pemimpin berkecakapan karsa cipta. Menafsirkan pendidikan berbasis digital tidak pada tumpukan keruwetan teknologi baru plus sejumput beban kewajiban absolut manual — paradoks secara pemaknaan jadinya.
Sebaliknya, dosen 4.0, sebutlah begitu, tidak hanya fokus pada apa yang diajarkan, namun harus fokus juga pada bagaimana mengajarkannya.
Kuliah seharusnya ditujukan untuk menciptakan kompetensi yang diinginkan. Sebentuk aktivitas co-learning penyulut daya pikir lebih luas dan open-mind. Insan berdaya saing unggul (Sorotan Riswanda, 2021, 15 September) bukan sekadar siap kerja dan berujung bisa mengopi dan fotokopi.
Tetapi, siap berkarya dan bernalar kritis. Untuk selanjutnya cukup memiliki ikrar mencapai kepakaran di bidang minat masing-masing. Nusantara memerlukan ahli pada suatu rumpun bidang atau keterampilan khusus, khas dan bila perlu unik, pembeda dari apa yang umumnya bisa ditemukan.
Seorang insan tamat berpikir kala berpandangan bahwa semuanya telah diketahui — apa yang tersisa untuk dipelajari?
Penulis adalah Associate Professor Bidang Analisis Kebijakan di FISIP Untirta










