Oleh : Riswanda
Riswanda (Sorotan, Banten Raya 12 Maret) mengulas kekusutan minyak goreng (migor) Nusantara. Senapas, Sorotan Riswanda (2022) meresepkan bagaimana sebaiknya kebijakan publik dirumuskan dan diterapkan. Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 11 tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah tadinya diharapkan menjadi solusi melambungnya harga minyak goreng (migor) di pasaran.
Menteri meyakinkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah sebesar Rp l4.000,00 perliter atau Rp15.500,00 perkilogram.
Lebih tegas lagi dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 regulasi kebijakan ini, pelanggar ketetapan tersebut menangung sanksi berupa penghentian kegiatan sementara dan atau pencabutan perizinan berusaha.
Namun, pertanyaannya kemudian kenapa sampai dengan saat ini migor masih menuai permasalahan. Hilang kelangkaan berganti melambungnya harga ecer di pasaran.
Siapa sebetulnya mafia minyak goreng seperti dibahasakan banyak pemberitaan media? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, ditambah Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015, mengait Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, cukup komplit mewarnai dasar rujukan intervensi kebijakan atas kemungkinan kegagalan pasar (market failure).
Pembelajaran kebijakan apa yang dapat Kita jadikan kontemplasi melihat kekusutan migor yang berkepanjangan? Apakah kekisruhan ini disebabkan oleh mandulnya intervensi pemerintah terhadap kenaikan harga migor di pasaran? Keresahan publik tampak natural saat menemui gejolak mekanisme pasar terhadap pihak-pihak penentu eskalasi harga, sekaligus penyalur dan penjual migor.
Siapakah yang sebetulnya diuntungkan dari polemik ini? Kenapa sekarang tiba-tiba minyak goreng mendadak normal tersedia
Nalar kritis kebijakan yang dapat Kita gunakan saat mengulas ini, dapat dimulai dari pertanyaan bahwa kegagalan pasar seharusnya mendorong intervensi kebijakan.
Bagaimana jika intervensi kebijakan justru melahirkan kegagalan pasar yang baru? Siapakah sebetulnya yang menjadi beneficiary kebijakan stabilisasi harga migor? Seperti lansiran warta media terakhir, Presiden Joko Widodo telah langsung turun tangan dengan menggelar rapat terbatas (ratas) dan mengunjungi sendiri pasar tradisional (CNBC Indonesia 2022, Merdeka 2022).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Tribunnews 2022) bahkan menambahkan perlunya multi-sinergi penanganan, yaitu Kemendag dibarengi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebuah catatan yang laik diperhitungkan mengingat taksiran keterlibatan kartel dan oligopoli dalam usaha dagang migor. Keadaan pasar dimana terdapat dominasi dari hanya sejumlah kecil kongsi atau industri di kegiatan penjualan migor. Mengakibatkan diperolehnya tampuk kendali penawaran pasar atas produk migor.
Betul, bahwa pemerintah memiliki Badan Pangan Nasional (Bapanas), Badan Urusan Logistik (BULOG), dan Satgas Pangan Nasional untuk juga ikut ditugaskan. Katakanlah lebih dekat difungsikan memastikan stabilnya ketersediaan dan keterjangkauan harga migor. Kenapa harus seperti itu? Kebijakan Migor tidak hanya semata urusan perdagangan.
Aspek ekonomi politik cukup kental terasa. Bagaimana imbasnya? Pembelajaran mendasar dari kebijakan ekonomi adalah perihal kelangkaan (scarcity). Bisa jadi tidak ada yang pernah cukup tersedia untuk mencukupi kebutuhan mereka yang menginginkan produk barang atau jasa tertentu.
Terlepas dari fakta dan keputusan strategis DMO 20% diletakkan pada prioritas curahan industri migor, ataupun biodiesel, instrumen evaluasi penetapan keputusan kebijakan mesti hadir di awal. Pertama, dipastikan basis riset sebuh keputusan kebijakan, kebalikan dari basis opini dan sekadar reaksioner.
Apakah telah dilakukan pemetaan wilayah rawan kelangkaan migor di Nusantara? Belum tentu semua terdampak. Eksposur masif di media hanya akan menyebabkan wilayah aman berubah rawan. Kenapa bisa begitu? Ide spekulan penimbun di wilayah tidak-langka dan tidak-mahal migor dapat saja timbul dari peluang meraup keuntungan di tengah kesempitan.
Komunikasi ilmiah perlu dilakukan di tahap perumusan dan eksekusi. Agar nantinya dapat diketahui, utamanya diantisipasi ragam luaran hasil diterapkannya solusi kebijakan. Pendekatan interdisiplin tidak kalah penting. Salah satu terdekat adalah arsiran ekonomi-politik dan tidak berat di satu aspek semisal ekonomi saja. Pendekatan hukum, budaya (ketahanan sosial dari panic buying misalnya) dan pertahanan keamanan juga harus turut serta.
Bukankah Indonesia bertekad menciptakan ketahanan pangan? Bagaimana dengan keamanan pangan di mekanisme kontrol pemerintah terpaut rantai distribusi CPO hasil DMO. Rembesan hasil DMO ke keluar negeri dan keberimbangan pasar domestik masuk di irisan keamanan sekaligus ketahanan. Partisipasi riil dari seluruh pemangku kepentingan di perihal langka-mahal migor menjadi tunggal sifatnya.
Termasuk melibatkan, memediasi sekaligus menampung apa yang menjadi keinginan pengusaha, pengecer, penyalur di semua jenjang. Sehingga, saat terjadi kegagalan mekanisme pasar seperti saat ini, tidak sampai juga menyeret kegagapan campur tangan pemerintah.
‘Joint agenda setting’ diperlukan sebagai pijakan respon kebijakan, bukan hanya legislator atau politisi sibuk merumuskan. Keikutsertaan kacamata pengusaha dan kelembagaan komunitas semestinya serius ikut memoles produk regulasi kebijakan sebelum turun gunung. Cetak tebal utama tentu pada akselerasi dari keragaman pemangku kepentingan tadi oleh akselerator kebijakan secara ilmiah.
Penulis adalah associate professor dan analis kebijakan di Untirta










