Oleh: Riswanda PhD
Mencermati ulasan provokatif Kumparan (2021) bertajuk ‘Ladang bisnis pornografi di medsos’ semestinya cukup menggelitik relung diskusi kebijakan.
Kupasan tersebut menyoal bagaimana industri pornografi berbanding lurus dengan maraknya muatan konten cabul di ruang jejaring sosial.
Kata industri tampaknya menyorot akun yang menawarkan konten akses berbayar bagi ragam kategori produk porno. Fakta paradoks jika melihat intervensi pemerintah pada isu ini.
Lebih lagi, meninjau dampak cela keberadaan ruang bisnis ini pada anak-anak. KPAI (2021) melansir peringatan waspada bagi publik, bahwa anak bisa menjadi korban pornografi, dan dapat sekaligus menjadi pelaku kekerasan seksual di bawah cengkeraman konten cabul media sosial.
Pornografi menduduki peringkat teratas (1.086.896) statistik aduan konten negatif Kominfo (2021), jauh di atas perjudian (386.222) dan penipuan (14.182). Ruang perdebatan kebijakan publik di isu ini meninggalkan dua ulasan penting.
Relung perundangan pemerintah Indonesia di ranah hukum pada isu pornografi sedianya cukup mewadahi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU 11/ 2008 dan UU 44 2008 telah menyisir ragam delik permasalahan pornografi. Meskipun minus di penjabaran kata ‘kesusilaan’, ketiga ketetapan tercatat lugas merentangkan jangkauan tangan negara terhadap aksi pornografi.
Ruang bisnis konten porno di media sosial semestinya masuk dalam target gapaian. Pertanyaannya kemudian, ceruk apa yang masih tertinggal dari masih santernya unggahan video, foto, teks atau bentuk lain unsur pornografi di platform jejaring sosial?
Jika Kita meninjau fitur penapis pornografi di berbagai kanal sosial media, maka seharusnya saluran dan sebaran konten berunsur cabul paling sedikit bisa tersaring.
Sedikitnya, ketersediaan filter usia pengguna misal telah memenuhi aspek pencegahan dampak. Langkah aksi Kominfo memutus mata rantai akses pencarian situs porno, ditambah upaya membuka ruang pelaporan masyarakat atas akun dengan gelagat porno sebenarnya tepat.
Namun, seperti laiknya fenomena gunung es, intervensi terhadap apa yang tampak di permukaan belum tentu menyentuh akar persoalan.
Belajar dari Australian Institute of Family Studies (AusGov 2017), sepertinya yang tertinggal adalah langkah terbuka dalam bentuk penyadaran publik akan konteks sosial dari isu pornografi. Menyadari dan membangun basis data lebih serius terkait remaja dan anak-anak yang terpapar pornografi, membuka peluang rubrik konseling terstruktur.
Pemerintah dapat saja bermitra dengan kelembagaan komunitas privat dalam hal ini, menempatkan ‘sex addiction’ menjadi bagian dukungan jaminan kesehatan negara. Bukankah Kita tidak dapat berasumsi bahwa ‘sex addict’ hanya merupakan masalah bagi segmen tertentu saja di masyarakat? Jangan-jangan, ketika akar permasalahan terkuak ke permukaan, permasalahan pornografi telah melintas irisan usia dan jenjang pendidikan maupun status sosial-ekonomi.
Sehaluan, inisiasi cakap langkah diperlihatkan oleh perhatian Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Kemen PPPA RI (2020), terhadap kerentanan anak-anak terhadap eksploitasi dan pornografi.
Kedekatan lebih pelajar dan mahasiswa dengan instrumen daring selama periode pandemi COVID-19 perlu diwaspadai di aspek kedekatan mereka terhadap gerbang konten porno. ‘Porn addiction’ bisa muncul sebagai polemik baru, dan tentu memiliki konsekuensi langkah aksi khusus, mengingat besarnya daya rusak berikut kebutuhan lanjut hadirnya model konseling atau terapan program yang dapat menjadi sorotan kebijakan.
Liputan kasus kekerasan seksual di lingkup lembaga pendidikan belakangan ini sudah harus menjadi peringatan final pentingnya langkah aksi bersama sebagai turunan payung-payung kebijakan eksisting. ‘Sex addiction’ dan ‘porn addiction’ bisa dikategorikan sebagai permasalah sistemik, dimana satu aspek bertali dan mengait serta memerlukan pendalaman di aspek lain.
UU 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan kewajiban perlindungan anak dan UU 35 2014, Pasal 59, terkait kategori anak yang memerlukan perlindungan khusus, mesti ditafsirkan daerah sebagai ruang kerja penjangkauan dan pendampingan dalam bentuk kajian kewilayahan.
PP 78/ 2021, kemudian menjadi pacu landas langkah aksi bersama mengentaskan perilaku sosial menyimpang terpaut eksposur dan ekses pornografi. Keterpaduan tiga regulasi terbilang adalah peluang memunculkan komunikasi publik edukatif sebagai salah satu jalan keluar mewabahnya bisnis pornografi.
Bisnis sejenis dapat dipadamkan bila ‘demand’ terhadap produk porno ditekan dengan penyadaran bahayanya. Keterbukaan bahasan persoalan merupakan bagian dari solusi.
Literasi kebijakan publik bisa jadi merupakan awal kecakapan tafsir regulasi. Instrumen peningkatan kapasitas pembuat(an) kebijakan menjadi dasar tolak ukur kualitas respon solusi pemerintah atas kericuhan permasalahan publik.
Salah satu kunci sukses intervensi pemerintah melalui solusi kebijakan adalah pemastian seberapa jauh, kapan, dimana, bagaimana dan menurut kacamata pandang siapa rumusan sebuah regulasi berpijak. ***











