BANTENRAYA.COM – Politik Etis menjadi titik balik penting dalam sejarah kolonial Hindia Belanda atau sekarang Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan.
Kebijakan pendidikan ini berlangsung sejak tahun 1901 hingga 1942, diawali dengan pidato Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901, yang menyatakan bahwa Belanda memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat koloninya.
Politik Etis lahir sebagai kritik terhadap kebijakan tanam paksa dan didorong oleh tokoh-tokoh seperti Pieter Brooshooft, seorang wartawan De Locomotief, dan C. Th. van Deventer, seorang politikus yang peduli pada nasib pendidikan penduduk pribumi.
Salah satu dampak nyata dari Politik Etis adalah terbukanya akses pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Pendidikan tidak lagi menjadi hak eksklusif bagi elite dan keturunan Eropa, melainkan mulai menjangkau rakyat pedesaan.
BACA JUGA: Beasiswa Pendidikan Indonesian Guru dan Calon Guru 2025 Dibuka, Begini Syaratnya
Misalnya Sekolah Rakyat atau SR.
Sekolah dasar ini diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dan ditempuh selama tiga tahun.
Siswa diajarkan membaca dan menulis dalam bahasa ibu menggunakan huruf Latin. Setiap guru biasanya menangani tiga kelas sekaligus.
Tujuan utama sekolah ini adalah mengurangi buta huruf agar masyarakat bisa memahami peraturan pemerintah kolonial.
Setelah lulus dari SR, siswa dapat melanjutkan ke sekolah lanjutan selama dua tahun.
BACA JUGA: Cara Registrasi Akun SNPMB 2026 untuk Siswa dan Sekolah, Ternyata Semudah Ini
Sekolah ini mempersiapkan lulusan untuk mengisi posisi birokrasi tingkat rendah di pemerintahan kolonial, seperti ambtenaar atau pamong praja.
Kemudian dilanjutkan dengan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara dengan sekolah menengah pertama, dan berlangsung selama tiga tahun.
Sekolah ini mulai hadir hampir di setiap kabupaten di Jawa menjelang akhir 1930-an. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Belanda.
Selain sekolah untuk pribumi, terdapat sejumlah sekolah dengan segmentasi yang lebih spesifik berdasarkan ras dan status sosial.
Misalnya, ELS (Europeesche Lagere School) yang sidirikan pada 1817, awalnya hanya menerima siswa Belanda.
BACA JUGA: 9 Siswa dari Sekolah Rakyat Menengah Atas 33 Tangerang Selatan Mengundurkan Diri
Namun sejak 1903, setelah Politik Etis diterapkan, anak-anak Indonesia juga bisa mengakses ELS.
Masa studi berlangsung tujuh tahun dengan bahasa Belanda sebagai pengantar.
Lalu ada HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang dibuka pada 1914 untuk anak-anak bangsawan pribumi, HIS juga menggunakan bahasa Belanda dan memiliki masa studi tujuh tahun.
Sedangkan sekolah khusus bagi keturunan HCS Tionghoa di Tanah Air disebut Hollandsch Chineesche School yang berdiri tahun 1908 di Batavia (kini Jakarta), sebagai tandingan terhadap sekolah-sekolah Mandarin yang dikelola Tiong Hoa Hwee Koan. Bahasa pengantarnya adalah Belanda.
Untuk di wilayah Yogyakarta terdapat AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah menengah atas yang didirikan pada 1919. Lama pendidikan tiga tahun bagi lulusan MULO.
BACA JUGA: Disdik Kabupaten Lebak Peringatkan Sekolah yang Tuduh Siswanya Memalak hingga Trauma
Untuk masuk jurusan sains, siswa harus memiliki nilai minimal 6 dalam aljabar.
Lulusan AMS yang unggul dalam studi sastra Barat klasik berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Belanda.
HBS (Hoogere Burger School) didirikan pada 1863, HBS adalah sekolah elit untuk warga Eropa, Tionghoa, dan pribumi terpelajar.
Pendidikan berlangsung selama lima tahun setelah HIS atau ELS.
HBS dikenal memiliki standar akademik tinggi dan menjadi jalan bagi lulusannya untuk menempuh pendidikan tinggi, termasuk di Belanda.
BACA JUGA: Disdik Kabupaten Lebak Peringatkan Sekolah yang Tuduh Siswanya Memalak hingga Trauma
Presiden pertama RI, Soekarno, adalah salah satu alumninya.
Politik Etis meninggalkan warisan penting bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Meski tujuan awal Belanda adalah kepentingan kolonial, kebijakan ini membuka jalan bagi lahirnya generasi intelektual pribumi yang kemudian menjadi motor pergerakan kemerdekaan Indonesia.***


















