Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB

Muhaemin
- Jumat, 10 Februari 2023 | 05:46 WIB
Akademisi Unma Banten, Eko Supriantno (Istimewa)
Akademisi Unma Banten, Eko Supriantno (Istimewa)

Oleh: Eko Supriatno*

Pembicaraan soal hubungan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mencuat. Terbaru, mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj membantah pernyataan yang menyebut NU harus jauh dari PKB. Menurut Said, pernyataan tersebut hanya diucapkan oleh orang yang melupakan sejarah antara PKB dan NU. 

Sebelumnya, pada 2022, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan organisasi massa Islam itu bukan untuk partai politik tertentu, melainkan untuk seluruh bangsa. Dia pun meminta partai politik tak mengeksploitasi NU untuk kepentingan politik identitas menjelang Pemilu 2024. 

Pemaknaan relasi antara NU dan PKB memang perlu dibingkai dengan tafsir jernih, fragmen, konteks zaman dan dinamika politik. Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB perlu dimaknai dalam bingkai dinamika zaman, bentangan ideologi, dan tantangan politik masa kini.

 Baca Juga: Erick Thohir Inginkan Kepengurusan PSSI Orang yang Siap Tidak Tidur

Catatan Kritis

 Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) catatan kritis dalam tulisan ‘Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB’: 

Pertama, Politik merupakan strategi atau cara, dan bukan tujuan. Politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi politik untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, melainkan juga menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Kebaikan bersama, Politik kebangsaan dan politik kerakyatan, menjadi tujuan utama. Politik sebenarnya itu ‘mulia’ bertujuan membawa kesejahteraan rakyat, dengan kontribusi untuk membawa umat ke ‘tujuan utama kemanusiaan’, yakni keselamatan dunia akhirat. 

Dalam sejarah politik nahdliyin, prinsip utama yang jadi rujukan adalah konsep maslahah ammah. Artinya, politik ditujukan untuk kebaikan bersama, yang jadi alat untuk mengonstruksi kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dalam sejarah politik kaum nahdliyin, diperjuangkan oleh KH Hasyim Asyari (1875-1947), KH Wahab Chasbullah (1888-1971), KH Wahid Hasyim (1914-1953), KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) dan sejumlah santri yang berkhidmat di panggung politik. 

Misal, penulis mencoba memaknai relasi NU dan politik dari sudut pandang ‘narasi’ gerak NU selama ini. NU justru sudah sangat jelas dalam mengartikulasikan konsep politik kebangsaannya. Dalam konteks ini, Moral dan etika politik yang jadi prinsipnya, berada dalam rumusan fikih sosial, dengan menempatkan sumber-sumber hukum Islam sebagai etika sosial.

 Baca Juga: Pemprov Banten Gelontorkan Rp18 Miliar Tata Destinasi Wisata, Kabupaten Lebak Jadi Sorotan Utama

Dari etika politik, dalam prinsip, pemikiran dan tentunya ujung-ujungnya adalah tuntunan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan membela bangsa. 

Kedua, NU itu jamaah, PBNU itu jam’iyah atau organisasi Massa. Organisasi bisa saja tidak berpolitik, tapi warga NU pasti punya preferensi yang jelas. Dalam ranah organisasi, NU perlu menjaga marwah sebagai tulang punggung politik kebangsaan, yang berpolitik dengan etika dan berjuang untuk mengukuhkan NKRI. Secara personal warga nahdliyin juga memiliki hak menyalurkan aspirasi politiknya. 

Karena sesuai dengan khittah-nya, warga NU secara individual diberi kebebasan untuk memilih wadah politiknya, dengan ungkapan yang populer: “NU tidak kemana-mana  tetapi berada di mana-mana”. 

NU bukan saja berpotensi menyumbangkan basis suara, tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan ke depan masih tetap menjaga Ke-Indonesiaan seperti yang dicita-citakan para founding fathers. Meminjam istilah Andree Feillard dalam NU Vis-a-Vis Negara (1999) pada dasarnya, khitah NU tidaklah membatasi gerak warga NU untuk berpolitik, NU mungkin bukan sebuah gerakan politik, tetapi ia tetap akan menjadi suatu kekuatan politik. Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari arena politik.”

Halaman:

Editor: Muhaemin

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Berbaik Sangka Kepada Virgojanti

Rabu, 22 Maret 2023 | 07:00 WIB

Arti Penting Taiwan Bagi Indonesia

Minggu, 12 Februari 2023 | 21:59 WIB

Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB

Jumat, 10 Februari 2023 | 05:46 WIB

Banten dan Refleksi Akhir Tahun 2022

Sabtu, 31 Desember 2022 | 17:44 WIB

Prediksi Kemenangan Brasil dan Filosofi Jogo Bonito

Jumat, 9 Desember 2022 | 16:14 WIB

Guru ‘Berjoget’ dan Rasa Malu?

Rabu, 30 November 2022 | 14:49 WIB

Desa Penyangga Ketahanan Pangan Nasional

Rabu, 23 November 2022 | 17:39 WIB

Menyulut Politik Cinta, Memadamkan Politik Identitas

Minggu, 13 November 2022 | 08:43 WIB

Tantangan Globalisasi dan Transformasi Teknologi

Selasa, 26 Juli 2022 | 18:58 WIB

Demokrasi Pancasila

Rabu, 1 Juni 2022 | 12:01 WIB

Demokrasi dan Populisme

Jumat, 20 Mei 2022 | 19:34 WIB

Opini WTP versus Korupsi Banten

Jumat, 15 April 2022 | 19:03 WIB

Terpopuler

X