Oleh Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M
Putusan No 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021 menyatakan bahwa Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) “inkonstitusional bersyarat”.
Berkenaan dengan itu Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan waktu dua tahun untuk melakukan penyempurnaan dan memerintahkan agar pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pelaksanaan apapun terhadap UUCK yang sifatnya strategis.
Putusan MK adalah sebuah norma baru sebagai “positive legislative” yang harus dipatuhi sebagai hukum, dan UUCK sejatinya merupakan sebuah transplantasi hukum yang dilakukan dengan metode “omnibus law”.
Kemudian, muncul beberapa pertanyaan, apakah putusan MK yang disebut dengan “the guardian of the constitution” tersebut dilaksanakan? Nyatanya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo justru memberi “kado tahun baru” dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Baca Juga: Revisi UU Ciptaker harus Melibatkan Publik Seperti Transparansi dalam Pembahasan UU TPKS
Alasannya, dalam bagian pertimbangannya (huruf f) disebutkan bahwa justru Perppu itu dikeluarkan untuk melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Pada bagian pertimbangan (huruf g dan h) disebutkan alasan adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya harga energi dan harga pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan yang telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Maka, keadaan itu telah memenuhi parameter sebagai “kegentingan memaksa” yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 (1) UUD 1945.
Namun, apakah pertimbangan yang disebutkan dalam Perppu tersebut memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”? MK, dalam putusannya, yakni Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 pada bagian menimbang, menyebutkan bahwa Perppu dapat dikeluarkan apabila memenuhi tiga syarat atau kategori.
Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada tetapi tidak memadai.
Baca Juga: Putusan MK Soal UU Ciptaker, Puan Maharani: DPR Tunggu Surat Presiden
Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dari ketiga syarat yang disebutkan MK pada putusannya tersebut, maka perlu untuk dikritisi, termasuk “kegentingan memaksa” yang mana sehingga keluar Perppu 2/2022? Atau mungkin karena faktor ekonomi nasional?
Kalau memang persoalan ekonomi nasional menjadi alasan, bukankah katanya ekonomi nasional kita kokoh dan surplus? Lebih tegas lagi, berdasarkan Pasal 185 Perppu No. 2/2022, maka UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Artikel Terkait
3 Januari 2023 Memperingat Apa? Terdapat 2 Hari Peringatan
Jam Tayang Sinetron Si Doel The Series Hari Ini, Berikut Jadwal RCTI Selasa 3 Januari 2023
Kapan Puasa Sunah Ayyamul Bidh? Simak Penjelasan dan Keutamaanya di Sini
Jadwal Film Bioskop Trans TV 3–8 Januari 2023: Awal Pekan Tahun Baru, Genre Laga Siap Menunggu
Tiko Rawat Ibunya yang Mengidap Gangguan Jiwa Selama 11 Tahun di Rumah Mewah Tanpa Listrik