Oleh : Ahmad Nuri, Ketua PW GP Ansor Banten
Penulis minggu kemarin baru saja menulis tentang “Musuh Demokrasi antara politik identitas dan politik Uang”, kali ini penulis terpanggil kembali untuk membuat perspektif baru tentang politik cinta sebagai antitesa terhadap politik identitas yang saat ini menjadi trend plus musuh bagi demokrasi dan bangsa ini.
Mungkin sedikit aneh dan absurd ketika penulis membuat antitesa dengan mengunakan terminologi politik cinta sebagi lawan politik indentitas, dimana politik identitas cendrung membelah atau mempolarisasi sementara politik cinta diharapkan dapat menyatukan perbedaan dengan satu tujuan.
politik cinta di ekspektasikan dapat menjadi “analgesik” bagi penyakit yang terus menggerogoti proses demokrasi dan memecah belah bangsa oleh politik identitas. Mungkin tidaklah cepat bisa menyembuhkan penyakit menimpa demokrasi tapi paling tidak bisa meredam rasa nyeri dialami bangsa iakibat politik identitas.
Baca Juga: Raffi Ahmad Menang Tiba Tiba Tenis 2022 dari Desta, Nagita Slavina: Setiap Hari Latihan Jam 6 Pagi
Jika di maknai sederhana bahwa politik cinta sejenis cara indah dalam mencapai tujuan atau kekuaasaan dengan mengunakan pendekatan afeksi untuk setiap proses kalkulasi politik dengan tidak menghilangkan kognisi politik atau rasionalitas politik dalam setiap langkah dan gerakan mencapai tujuan politik masing-masing dalam berkontestaasi di jalur demokrasi.
Sejatinya penulis ingin meletakan bahwa Hakekat politik cinta adalah meredam kebencian yang timbul dari perselisihan dan perbedaan.
politik cinta juga bisa menjadi sesuatu nilai pemikat, perekat, bahkan sekaligus pengikat kembali dari ragam perbedaan sebagai konsekwensi logis proses demokrasi yang di cidrai oleh politik identitas
Baca Juga: 4 Soundtrack Resmi Piala Dunia 2022 Qatar, Lengkap dengan Judul Lagu dan Nama Penyanyi
Secara esensi politik cinta bisa mengungkap hati kecil para pelaku politik kadung mengunakan politik identitas yang tak pernah puas berhasrat penuh nafsu seperti Casanova dan Don Juan saat melampiaskan kepentingan naluri dan birahi politiknya.
Bahwa sesungguhnya politik bukan hanya soal nafsu liar dan bebas tanpa “akad” dalam mencapai kekuasaan atau kelimaknya Sang Casanova ketika berpadu hasrat.
Tapi soal akibat yang timbul pada keseluruhan masayarakat dapat kehilangan kemampuan untuk mencintai karena sudah terbiasa saling membenci atau sekedar melampiaskan nafsu birahi politik untuk kekuasaan.
Termasuk nafsu birahi menggunakan agama untuk kepentingan politik kekuasaan semata.
Hal ini lah yang menjadikan agama rusak tak memiliki nilai keagungannya dan menikam harkat kemanusiaan karena di jadikan alat bukan dijadikan inspirasi nilai bagi setiap langkah kepentingan politik produktif bagi kemajuan agama itu sendiri atau bangsa dan negara.
Artikel Terkait
Pesan Khusus Ketua DPRD Kota Cilegon Isro Mi’raj di Hari Sumpah Pemuda: Pemuda Jangan Apatis Politik
Aremania Tanggapi Isu Prananda Paloh Jadi Pengganti Juragan 99, Ingatkan Jangan Bawa Arema FC ke Dunia Politik
Ketua KPU RI Warning Penyelenggara Daerah, Jangan Jadi Bagian Konflik Kepentingan Politik
GP Ansor Provinsi Banten Gelar Latihan Instruktur I, Ciptakan Kader yang Mereduksi Polarisasi dan Politik
Musuh Demokrasi Antara Politik Identitas dan Politik Uang
Preman Pensiun 7 Malam Ini: Politik Bang Edi Oke, Agus dan Lord Yayat Berhasil Jadi Bos di Parkiran dan Pasar
Andai PDIP dan PKS Merapat ke KIB, Pengamat: Mereka Ingin Mewujudkan Politik Gotong Royong
KIB Dapat Apresiasi Karena Berani Canangkan Kerja Politik Modern