• Sabtu, 30 September 2023

Antara Islah atau Fasad, Kapal Pancasila Arungi Samudera Zaman

- Kamis, 2 Juni 2022 | 12:49 WIB
Hamdi Ibrahim. (Dok pribadi)
Hamdi Ibrahim. (Dok pribadi)

Oleh: Hamdi Ibrahim

Menarik apa yang dijelaskan Murthada Muthahhari mengenai islah, reformasi atau perbaikan.

Dalam bukunya "Gerakan Islam Abad XX", Filsuf Islam dari Iran Murthada Mutahhari mengatakan bahwa islah, reformasi atau perbaikan adalah ruh Islam yang sesungguhnya.

Kemudian, Murthada menegaskan bahwa seorang muslim sudah semestinya sebagai seorang reformator, muslih atau orang yang membuat perbaikan.

"Sekurang-kurangnya seorang penyokong perbaikan," jelas Murthada Muthahhari.

Pandangan Murthada ini berlandaskan apa yang ia pahami dari al-Quran di mana disebutkan bahwa islah, reformasi atau perbaikan merupakan salah satu atribut kenabian.

"Perbaikan atau islah menduduki kepentingan yang sama dalam ajaran-ajaran sosial Islam sebagaimana kata-kata halal dan haram," ungkap Murthada.

Penjelasan islah dari filsuf Islam kontemporer ini membawa pikiran saya pada Pancasila yang belakangan selalu dimonopoli oleh satu golongan atau kelompok bahkan menjadi perbincangan hangat dari masa ke masa.

Apabila kita menyadari dengan waras dan berpengetahuan, maka kita akan mengetahui bahwa Pancasila merupakan salah satu bentuk islah terbaik yang pernah disusun, ditetapkan dan disepakati bersama oleh para Founding Fathers negeri ini.

Tetapi melemparkan wacana ini di tengah kegersangan jati diri dan kealpaan terhadap sejarah, tidak akan bisa diterima begitu saja oleh mereka yang terlalu sempit berpikir dan selalu membawa politik identitas.

Sebagian orang akan bertanya, "Bukankah sejak lahirnya Pancasila di zaman Bung Karno hingga zamannya Jokowi, Pancasila selalu dipersoalkan, dipertentangkan, diaku-akui, bahkan dijadikan alat penindasan, serta telah membuat fasad atau kekacauan di negeri ini?"

Maka, saya hanya bisa menjawab, "Ya, jelas, tentu, itulah persoalan yang kita hadapi hari ini".

Namun apabila disadari secara benar dan menggunakan ilmu, Pancasila yang didengungkan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 di hadapan massa sidang BPUPKI, adalah sebagai cara mengislahkan atau menyatukan berbagai paham pendapat.

"Kita bersama-sama mencari persatuan 'philosophische grondslag', mencari satu 'weltanschauung' yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus,” tegas Sukarno.

Sukarno yang memiliki keilmuan yang mempuni dari segi sejarah, politik, budaya, dan sosial, menyimpulkan bahwa yang bisa menyatukan multi-ras, multi-etnis, multi-budaya, multi-suku, multi-bahasa, dan multi-bangsa ke dalam satu negara bernama Indonesia yakni Pancasila.

Sukarno beranggapan bahwa konsepsi Pancasila yang ia utarakan bisa menjadi sebuah islah atau perbaikan bagi negara Indonesia Merdeka.

Setelah pidato yang berapi-api tersebut, tidak ada massa sidang yang menolak bahkan membantah apa yang dibacakan Sukarno.

Tiga minggu setelah sidang BPUPKI berakhir, Bung Karno memanggil 8 orang ke rumahnya untuk membahas idenya mengenai Pancasila.

Hampir semuanya menerima apa yang disampaikan Sukarno, cuma ada satu hal yang mengganjal dari para pemimpin Islam terkait Ketuhanan yang diletakkan di urutan kelima.

Sehingga terjadilah koreksian dan diskusi untuk memajukan dan memindahkan Ketuhanan di urutan pertama.

Dengan legowo, Sukarno yang mencetuskan ide pertama mengenai Pancasila menerima keputusan tersebut.

Terhindarlah Sukarno dari anggapan bahwa pemilik dan yang berhak menafsirkan Pancasila hanya dirinya.

Adanya koreksian dari yang lain, baik dari segi urutuan maupun kalimat membuat Pancasila bukan milik satu orang, tetapi milik rakyat Indonesia.

Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa Pancasila adalah kumpulan paham-paham yang berbeda dan tujuan untuk menentramkan perbedaan paham tersebut.

"Pancasila hanyalah kumpulan paham-paham yang berbeda-beda untuk menentramkan golongan pada rapat-rapat," tulis Sutan Takdir Alisyahbana.

Bagi saya pribadi, Pancasila merupakan islah yang terbaik yang final yang sudah disepakati oleh para Founding Fathers.

Bahkan, dalam teks Pancasila yang sering dibacakan saat upacara tidak ada metafor-metafor yang berlebihan, malah terlihat datar, dingin dan baku.

Datar, dingin dan baku inilah yang sering disalahartikan bagi yang tidak mempunyai pemahaman sejarah dengan baik.

Ya, kesalahan memahami teks yang begitu datar, dingin dan baku ini membuat sebagian orang selalu mempersoalkan, mempertentangkan hingga menjadi alat untuk menindas salah satu kelompok yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Benar apa yang dikatakan Buya Hamka, Pancasila tidak akan dipertentangkan apabila bangsa Indonesia menghayati sungguh-sungguh sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tidak akan terjadi kekacauan atau fasad di negeri ini.

"Tiap-tiap orang yang beragama atau tiap-tiap orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena Sila yang empat daripada Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja daripada Sila yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa," tutur Buya Hamka dalam buku Urat Tungga Pancasila.

Sementara itu Bung Hatta dalam bukunya Lampau dan Datang menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang mulanya jadi dasar penutup, sekarang terletak di atas sebagai sila pertama mempunyai makna yang penting.

"Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang lebih kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam," ucap Bung Hatta.

Bung Hatta juga menyatakan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memimpin cita-cita kenegaraan.

"Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat," imbuh Bung Hatta.

Meskipun Pancasila sudah final, namun kita tidak bisa mencegah apabila ada yang mempersoalkan, memonopoli, mempertentangkan bahkan menafsirkan seenak udelnya.

Itulah Pancasila, final tapi belum sampai ke garis finis.

Kembali lagi pada pembicaraan islah, reformasi, atau perbaikan yang dijelaskan Murthada Muthahhari, jika melihat persoalaan Pancasila, dulu, kini dan akan datang, maka sebenarnya dan seharusnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sudah termasuk islah atau perbaikan yang diinginkan oleh para Founding Fathers negeri ini.

Penekanan bagi umat Islam di Indonesia yang dikatakan Murthada adalah penganjur perbaikan atau sekurang-kurangnya seorang penyokong kebaikan, membuat Pancasila bukan menjadi barang persoalan atau pertentangan, apalagi membuat perbandingan hukum Islam dengan Pancasila.

Sebab, hal ini kurang beradab kepada para pemimpin Islam yang terlibat dalam penyusunan dan perjuangan demi Indonesia Merdeka.

Para pemimpin Islam di zaman revolusi Indonesia telah melihat dan berharap Pancasila bisa menjadi sarana islah untuk menyatukan berbagai bangsa, bahasa, suku dan ras dalam satu negara bernama Indonesia.

Hanya dengan penghayatan dan pengamalan secara baik dan benar mengenai Pancasila, Islah atau resolusi konflik bisa terwujud.

"Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nasionale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian," tandas Bung Karno.

Penulis adalah Jurnalis Banten Raya dan Pengasuh Perpustakaan Pojok Rumi

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Berbaik Sangka Kepada Virgojanti

Rabu, 22 Maret 2023 | 07:00 WIB

Arti Penting Taiwan Bagi Indonesia

Minggu, 12 Februari 2023 | 21:59 WIB

Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB

Jumat, 10 Februari 2023 | 05:46 WIB

Banten dan Refleksi Akhir Tahun 2022

Sabtu, 31 Desember 2022 | 17:44 WIB

Prediksi Kemenangan Brasil dan Filosofi Jogo Bonito

Jumat, 9 Desember 2022 | 16:14 WIB

Guru ‘Berjoget’ dan Rasa Malu?

Rabu, 30 November 2022 | 14:49 WIB

Desa Penyangga Ketahanan Pangan Nasional

Rabu, 23 November 2022 | 17:39 WIB

Menyulut Politik Cinta, Memadamkan Politik Identitas

Minggu, 13 November 2022 | 08:43 WIB

Tantangan Globalisasi dan Transformasi Teknologi

Selasa, 26 Juli 2022 | 18:58 WIB

Demokrasi Pancasila

Rabu, 1 Juni 2022 | 12:01 WIB

Demokrasi dan Populisme

Jumat, 20 Mei 2022 | 19:34 WIB

Opini WTP versus Korupsi Banten

Jumat, 15 April 2022 | 19:03 WIB
X