Oleh : Gili Argenti
Demokrasi menjadi sistem politik banyak digunakan hampir semua negara di dunia.
Meminjam tesis dari Samuel P Huntington (1995) telah terjadi gelombang demokratisasi ketiga, hal ini dibuktikan semakin bertambahnya negara menganut sistem demokrasi, serta berjatuhannya sistem politik otoriter-totaliter sejak tahun 1990-an.
Gelombang ketiga demokratisasi sukses menggulung rival ideologinya, yaitu sosialisme-komunisme. Demokrasi akhirnya menjadi simbol kemenangan kapitalisme merujuk pendapat Francis Fukuyama (2004).
Kemenangan demokrasi dirayakan gegap gempita seolah lonceng kematian ideologi otoritarian menemukan takdir tragisnya mati dan ditinggalkan.
Tetapi demokrasi bukan sistem politik steril dari anomali, justru sebelum perang dunia kedua meletus ideologi fasisme bisa berkuasa melalui sistem pemilu demokratis.
Perkembangan kontemporer menunjukan melalui demokrasi kebangkitan populisme serta politik sayap kanan di dunia barat menemukan momentumnya.
Populisme merupakan ideologi politik yang menolak konsensus demokrasi dengan menebarkan etnosentrisme serta anti elit, untuk mencapai tujuan politiknya kelompok populis tidak segan-segan menebarkan retorika pembelahan ditengah masyarakat, menciptakan dikotomi antara kelompok terpinggirkan dengan elit berkuasa.
Kemunculan populisme ini didahului kekecewaan rakyat terhadap demokrasi dan kapitalisme.
Bahwa retorika kesetaraan politik tidak terbukti, justru demokrasi dikuasai kaum oligarki. Kemudian janji pertumbuhan serta kesejahteraan di dalam ekonomi pasar terbuka, berbanding terbalik dengan ketimpangan dan kemiskinan.
Terdapat dua pendapat para ahli politik mengenai maraknya populisme. Pendapat pertama menjelaskan populisme sebagai pengingat kepada pemerintah, bahwa ketimpangan ekonomi serta ketertutupan akses politik harus dicarikan solusinya.
Pendapat kedua gejala populisme sebagai patalogi (penyakit) karena memanfaatkan kekecewaan publik atas praktik demokrasi demi kepentingan politik elektoral dengan menebar kebencian diluar kelompoknya.
Anomali demokrasi berupa populisme harus dihindari, karena kalau dibiarkan akan menjadi monster “leviathan” menakutkan akan memporak-porandakan bangunan demokrasi telah susah payah dibangun dan diperjuangkan.
Terdapat beberapa cara untuk mempertahankan demokrasi agar sejalan sesuai harapan, satu diantaranya mempekuat komponen civil society dengan membangun kelompok-kelompok masyarakat sipil memiliki jati diri terbuka, toleran, kritis, dan mandiri.
Hanya memperkuat civil society praksis anomali berdemokrasi bisa kita minimalisir kemunculannya, dengan mempekuat masyarakat sipil, agar sistem demokrasi akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi publik. ***
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
Artikel Terkait
"Sang Penatap Matahari", Novel Inspiratif Sang Duta Syariah
Kebenaran yang Tak Terorganisir
Menafsir Layangan Putus
Ramai Jual NFT Foto Selfie Dengan KTP, Ini Kata Deddy Corbuzier
Waktunya Beres-beres dengan PPS
Arteria Dahlan, Noda Hitam Rasisme Bahasa
Riwayat Ibukota Turki dan Indonesia
RUU PKS Tak Secepat RUU IKN, Pindah Ibu Kota Negara Benarkah Lebih Menggiurkan?
Di Balik Layar IPO Saham BRIS (BSI, Tbk.)
Orang Tua Paling Benar?
Kesadaran Pembelajaran Daring dan Luring di Era Pandemik COVID-19
Kompetensi dan Kinerja Guru Masih Perlu Ditingkatkan, Download Regulasi Sekolah Penggerak