Demokrasi dan Populisme

M Hilman Fikri
- Jumat, 20 Mei 2022 | 19:34 WIB
Gili Argenti. (Dokumen pribadi)
Gili Argenti. (Dokumen pribadi)

Oleh : Gili Argenti

Demokrasi menjadi sistem politik banyak digunakan hampir semua negara di dunia.

Meminjam tesis dari Samuel P Huntington (1995) telah terjadi gelombang demokratisasi ketiga, hal ini dibuktikan semakin bertambahnya negara menganut sistem demokrasi, serta berjatuhannya sistem politik otoriter-totaliter sejak tahun 1990-an.

Gelombang ketiga demokratisasi sukses menggulung rival ideologinya, yaitu sosialisme-komunisme. Demokrasi akhirnya menjadi simbol kemenangan kapitalisme merujuk pendapat Francis Fukuyama (2004).

Kemenangan demokrasi dirayakan gegap gempita seolah lonceng kematian ideologi otoritarian menemukan takdir tragisnya mati dan ditinggalkan.

Tetapi demokrasi bukan sistem politik steril dari anomali, justru sebelum perang dunia kedua meletus ideologi fasisme bisa berkuasa melalui sistem pemilu demokratis.

Perkembangan kontemporer menunjukan melalui demokrasi kebangkitan populisme serta politik sayap kanan di dunia barat menemukan momentumnya.

Populisme merupakan ideologi politik yang menolak konsensus demokrasi dengan menebarkan etnosentrisme serta anti elit, untuk mencapai tujuan politiknya kelompok populis tidak segan-segan menebarkan retorika pembelahan ditengah masyarakat, menciptakan dikotomi antara kelompok terpinggirkan dengan elit berkuasa.

Kemunculan populisme ini didahului kekecewaan rakyat terhadap demokrasi dan kapitalisme.

Bahwa retorika kesetaraan politik tidak terbukti, justru demokrasi dikuasai kaum oligarki. Kemudian janji pertumbuhan serta kesejahteraan di dalam ekonomi pasar terbuka, berbanding terbalik dengan ketimpangan dan kemiskinan.

Terdapat dua pendapat para ahli politik mengenai maraknya populisme. Pendapat pertama menjelaskan populisme sebagai pengingat kepada pemerintah, bahwa ketimpangan ekonomi serta ketertutupan akses politik harus dicarikan solusinya.

Pendapat kedua gejala populisme sebagai patalogi (penyakit) karena memanfaatkan kekecewaan publik atas praktik demokrasi demi kepentingan politik elektoral dengan menebar kebencian diluar kelompoknya.

Anomali demokrasi berupa populisme harus dihindari, karena kalau dibiarkan akan menjadi monster “leviathan” menakutkan akan memporak-porandakan bangunan demokrasi telah susah payah dibangun dan diperjuangkan.

Terdapat beberapa cara untuk mempertahankan demokrasi agar sejalan sesuai harapan, satu diantaranya mempekuat komponen civil society dengan membangun kelompok-kelompok masyarakat sipil memiliki jati diri terbuka, toleran, kritis, dan mandiri.

Hanya memperkuat civil society praksis anomali berdemokrasi bisa kita minimalisir kemunculannya, dengan mempekuat masyarakat sipil, agar sistem demokrasi akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi publik. ***

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Berbaik Sangka Kepada Virgojanti

Rabu, 22 Maret 2023 | 07:00 WIB

Arti Penting Taiwan Bagi Indonesia

Minggu, 12 Februari 2023 | 21:59 WIB

Merajut Kembali Tenun Perjuangan NU dan PKB

Jumat, 10 Februari 2023 | 05:46 WIB

Banten dan Refleksi Akhir Tahun 2022

Sabtu, 31 Desember 2022 | 17:44 WIB

Prediksi Kemenangan Brasil dan Filosofi Jogo Bonito

Jumat, 9 Desember 2022 | 16:14 WIB

Guru ‘Berjoget’ dan Rasa Malu?

Rabu, 30 November 2022 | 14:49 WIB

Desa Penyangga Ketahanan Pangan Nasional

Rabu, 23 November 2022 | 17:39 WIB

Menyulut Politik Cinta, Memadamkan Politik Identitas

Minggu, 13 November 2022 | 08:43 WIB

Tantangan Globalisasi dan Transformasi Teknologi

Selasa, 26 Juli 2022 | 18:58 WIB

Demokrasi Pancasila

Rabu, 1 Juni 2022 | 12:01 WIB

Demokrasi dan Populisme

Jumat, 20 Mei 2022 | 19:34 WIB

Opini WTP versus Korupsi Banten

Jumat, 15 April 2022 | 19:03 WIB
X