Oleh: Riswanda
Cogan pulih lebih cepat bangkit lebih kuat ramai di Twibbon HUT RI 2022. Makna istimewa tersimpul melalui kalimat tersebut.
Capaian pembangunan nasional di sarwa sektor, posterior periode pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun ini.
Tutur semangat yang seharusnya menyelentik lensa pandang kebijakan untuk lebih serius mendalami bagaimana Menyambung Daya Tahan Sosial Selepas Pandemi (Riswanda 2021).
Kenapa seperti itu? Karena upaya gerak cepat pemulihan ekonomi bangkit beriring balutan pemulihan sosial. Ketahanan sosial merupakan penguat prestasi perubahan dan perkembangan pembangunan manusia Indonesia.
Lebih lagi, sorotan performa Nusantara di wilayah sosial semakin dikenal masyarakat dunia. Santer kabar viral perkawinan usia anak adalah catatan kebijakan yang kurang bisa dibanggakan sebetulnya.
Contoh, Viral Kakek Nikahi Gadis 19 Tahun di Cirebon masih menghiasi halaman pencarian google. Liputan Kompas (2022, 27 Mei) ikut menajamkan bahasan dengan manayangkan ilustrasi seorang anak mengangkat poster bertuliskan Jangan nikahkan kami please, bersanding tagar cegah perkawinan anak.
Peringatan Hari Perempuan Internasional lalu mestinya ikut memberi cetak tebal peringkat 10 dunia yang disandang Indonesia terpaut tingginya angka perkawinan anak (Kemensos 2021). Padahal pada tahun sebelumnya, kolaborasi Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, UNICEF, BPS, dan Bappenas mencatat terjadinya pernikahan dini melibatkan 1.220.900 anak Indonesia.
Peralihan UU 1/ 1974 ke UU 16/ 2019 mengenai usia minimal 19 tahun laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan pasal 7 ayat (1). Meskipun, pada tahun yang sama BPS (2019) melansir data prosentase provinsi dimana perempuan usia 20-24 tahun, berstatus menikah sebelum usia 18 tahun.
Terbilang lima besar berurutan yakni 21,2 persen, 20,2 persen, 19,2 persen dan 17,9 persen, menyebut Provinsi Kalsel, Kalteng, Sulbar, Kalbar dan Sulteng.
Lantas, dimana benang kusut kesenjangan kebijakan eksisting pada persoalan ini sebenarnya? Pertama, sepertinya payung rujukan regulasi perundangan pernikahan cenderung menyoroti batas minimal usia boleh menikah secara hukum, terutama pihak perempuan.
Sementara pasal 7 ayat (2), bertekanan dispensasi atas kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap ketentuan tentang umur, relatif jarang mendapat eksposur. Padahal, pengadilan dapat dan wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak pelaku pernikahan.
Tidakkah ayat ini membuka ruang pengawasan komunitas perduli anak menikah terlampau dini? Tambahan pula, pasal 10 UU 12/2022 tentang TPKS paling tidak dapat menjadi bagian antisipasi-solusi meningkatnya angka perkawinan anak.
Katakanlah, 9 tahun kurungan dan atau denda maksimum 200 juta rupiah bagi pemaksaan perkawinan, jika disampaikan secara masif-edukatif ke wilayah rawan nikah dini secara data, dapat menunjang power pesan kebijakan.
Ditambah pasal 11 UU termaktub ikut menggarisbawahi pencabutan hak asuh anak sebagai pidana tambahan bagi pelaku.
Kendatipun laporan statistik Indonesia (BPS 2022) mencukil pernurunan tren pernikahan selama periode pandemi, yaitu 1,79 juta pernikahan di tahun 2020 dan 1,74 juta pernikahan di tahun 2021, 300 persen kenaikan pernikahan anak selama pandemi menjadi sebuah ironi tersendiri.
Mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2022, 27 Juni). Stunting, kekerasan domestik, perceraian, dan munculnya keluarga miskin baru adalah sedikit dari ekses negatif yang umumnya terprediksi dari pernikahan anak.
Pembacaan benang merah apa bagi akselerasi kebijakan? Intervensi sosial berbasis pendekatan agama berupa ToT (Trainer of Trainer) dan ToF (Trainer of Facilitator) menyentuh frasa kunci. Kenapa? Demi mendaratkan Deklarasi Pendewasaan Usia Kawin yang telah dilakukan Kemen PPPA bersama 8 Menteri dan komitmen 6 lintas agama.
Kekuatan pesan advokasi berbasis ketokohan toga dan toma dapat didukung oleh dorongan aturan hukum pidana terhadap praktik pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan di dalam perkawinan (marital rape) atas pengaduan korban. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa saja menyertakan pendalaman kajian atas hal termaksud.
Pemanfaatan TIK dalam ragam diseminasi informasi layanan publik adalah sebuah inovasi tentunya. Catatan perlu diberikan pada pertanyaan mengenai sejauh mana jangkauan segmen publik atas upaya-upaya inovatif pemerintah selama ini.
Seberapa jauh bonding emosional gagahnya platform berbasis web menciptakan kemapanan penilaian kinerja sistem. Apresiasi terhadap kelurahan inovatif di wilayah perkotaan dan perdesaan tampaknya bisa memunculkan mata anggaran APBN/ APBD bagi penyokong program kajian sosial di tema perlindungan anak pada wilayah mikro.
Mengentaskan isu antik minus anggaran seperti yang selama ini menjadi dasar pasifnya program aksi. Termasuk soal validitas data kecamatan dan kelurahan.
Jangan sampai kesenjangan pengetahuan membuat berjibun aplikasi tanpa makna pendalaman emotif pembangunan manusia. Unfolding their own voice to have the program they want to happen (membuka ruang menyuarakan kebutuhan aktual mereka sendiri bagi target group sebuah kebijakan) adalah hakiki.
Analis kebijakan mesti bisa put your shoes in the participant shoes (menempatkan sudut pandang analisis dari kacamata mereka yang sering kali kita anggap sekadar subjek analisis).