Melampaui Perbahasan Stunting

- Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh: Riswanda

Menyela perdebatan insidental antar gatra pemangku keputusan kebijakan Nusantara perihal apakah penting mempertahankan atau membubarkan Citayam Fashion Week, dan apakah nantinya Jam Gadang Fashion Week patut menggantikan gejala sosial tersebut.

Dunia sepertinya menggarisbawahi satu persoalan esensial. UNICEF-WHO-WorldBank (2021) seolah bersepakat dalam ‘Joint Child Malnutrition’ menilik tren stunting dunia dan regional. Sorotan Riswanda menjadikan perbahasan ini dalam lingkar diskusi akselerasi kebijakan.

Terma ‘stunting’ rasanya mencuit populer menjadi salah satu diksi genre, barangkali sekondang ‘hijrah’, ‘cutoff’, ‘healing’ dan lainnya. Kabupaten Serang, Provinsi Banten melalui kepala daerah setempat, beriringan Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, secara seremonial mengantarkan 1054 mahasiswa KKM dan 10 mahasiswa KKN Kebangsaan.

Dengan harapan partisipasi sivitas akademika di isu stunting. Setidaknya KKM bermakna unjuk peran pembinaan kepada masyarakat terpaut kesehatan lingkungan, juga olah potensi pendapatan alternatif sektor pariwisata kewilayahan mikro. Program kreatif bernuansa gen-z, edu-advokasi berupa pemetaan sosial dan pendampingan pencegahan stunting di Desa Pasilian Kecamatan Kronjo Tangerang Timur salah satu yang laik mendapat aplaus.

Kenapa? Karakter sosialisasi antik berupa kontes pidato berisi panjangnya sambutan nasihat disusul rentetan selebrasi melelahkan, diganti dengan zoombinar berdaya jangkau luas menggandeng duta genre setempat. Sedikitnya, gagasan pelaksanaan program ini merupakan refleksi juga silaturahmi pemikiran bagi aksi-aksi pengentasan stunting di kewilayahan lain.

Lalu, seberapa kardinal permasalahan stunting masuk ke dalam akselerasi kebijakan? WHO (2015) menjabarkan stunting sebagai kegagalan tumbuh kembang dicetus oleh gizi buruk, infeksi berulang dan ketidaktepatan stimulasi psikososial.

Kendatipun stunting tidak terbatas pada tiga penanda umum terbilang, WHO menekankan daruratnya perhatian bersama pada dampak anak berkategori ‘stunt’, diantaranya kapasitas belajar dan kualitas hidup produktif. Panduan jendela konsep serta turunan indikator UNICEF (2015) menunjuk persilangan multi-faktor sebagai kunci tepat rumusan strategi kebijakan di persoalan stunting.

Riswanda
Riswanda

Bahwa dimensi kajian stunting mencakup perbahasan multi-aspek, tentu berimbas pada keperluan rumusan pemikiran cepat regulasi kebijakan. Untuk nantinya berbuah aksi jitu di lapangan.

Dimensi malnutrisi, misal, beririsan dengan matra sampainya unit layanan kesehatan di klaster kelompok sasar ibu dan anak. Status gizi sulit berdiri sendiri tanpa mengindahkan irisan ketahanan keluarga berencana. Seperti prosentase perempuan menikah yang mengalami kekerasan di masa kehamilan.

Artinya, pendalaman kajian kebijakan dan tata kelola kerjasama antar unit pemerintahan adalah pekerjaan rumah selanjutnya dari afirmasi positif atas terbentuknya Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (stunting) Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.

SSGBI 2019, melekat dalam Susenas Maret 2019, memperlihatkan prevalensi underweight sebesar 16,29 persen (15,94%-16,65%), stunting 27,67 persen (27,22%-28,11%), dan wasting 7,44 persen (7,19%–7,71%). Hasil olah Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota, yang seyogyanya tidak hanya berdiam sebagai kumpulan fakta numerik sekaligus menarik dipandang sebagai fakta.

Lebih penting lagi adalah tafsir makna dan kualitas Rencana Aksi Daerah (RAD) menyorot bagaimana memangkas batas klasik administratif dan kewenangan untuk semisal mengkaji keterpaduan langkah dari katakanlah Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Kesehatan dan lemabaga-lembaga komunitas pemerhati anak.
Penting bagi bagi badan perencana pembangunan wilayah untuk menyusun instrumen evaluasi bermarwah tafsir sosial dari indikator-indikator Statistik Kesehatan (2019) berupa pengeluaran kesehatan mandiri oleh rumah tangga, kunjungan ke posyandu, pelayanan kesehatan maternal dan Keluarga Berencana, serta pemberian imunisasi, vitamin A, dan makanan pendamping ASI pada anak usia di bawah dua tahun.

Halaman:

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB

KKB, Arsitektur Sosial dan Silaturahmi Pemikiran

Sabtu, 12 Maret 2022 | 05:53 WIB
X