• Kamis, 21 September 2023

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

- Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh: Riswanda

Rentetan penetrasi kebijakan bergulir penanda upaya hadirnya pemerintah di tengah himpitan ragam urusan kesejahteraan.

Riswanda (2021) berargumen, menaksir intervensi sosial sepatutnya menjadi pijakan uluran tangan kebijakan selaku pemecah masalah-masalah publik.

Bahasan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak, beriring penghapusan beberapa regulasi yang dianggap problematis.

Baru saja Kementerian Sosial menghapuskan izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang Yayasan Aksi Cepat Tanggap salah satunya.

Terlepas pro dan kontra yang mempertanyakan apakah gerak cepat kebijakan dua inisiasi terbilang tergesa-gesa atau justru dinilai terlambat, tolak ukur caritas kental mewarnai kebijakan sosial Nusantara.

Padahal, tersirat jelas dalam Wellbeing, Mindfulness and the Global Commons (McIntyre-Mills 2010), Kita diingatkan untuk berpijak pada pemikiran sejauh mana kecakapan desain kebijakan menumbuhkan kualitas ketahanan sosial.

Bagaimana insan Nusantara terjaga dan sadar akan lingkungan sekitar dalam artian sebenarnya, merupakan penanda cakap kebijakan. Keberlanjutan program berorientasi masa depan menjadi catatan penting.

Riswanda.
Riswanda.


Menukil Statistik Kesejahteraan Rakyat (BPS 2021), terhitung Maret tahun lalu, setiap 100 orang Indonesia berusia produktif (15-64 tahun) memiliki tanggungan 46 orang dalam rentang usia tidak produktif, yaitu 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.

Beban negara memastikan terciptanya lapangan kerja, ditambah darma 40,47 persen penduduk yang mencatatkan keluhan kesehatan serta memerlukan rawat jalan.

Sebagai kupasan, terdata 30 November 2021 saja, angka peserta JKN-KIS mencapai 229.514.068 jiwa (BPJS Kesehatan 2021). Dan masih banyak lagi ragam penanda capaian kesejahteraan rakyat yang laik mendapatkan pendalaman kajian, diantaranya angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf, kondisi tempat tinggal, akses internet dalam pemanfaatan teknologi informasi dan seterusnya.

Refleksi kritis mengait seberapa tepat karakter bantuan atau program pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat, tentu jitu mendapat sorotan. Artinya, jangan samoai baseline data sosial-ekonomi masyarakat menjadi sekadar orkestrasi pilihan politik dan bukan sarana edukatif bagi masyarakat.

Kampung tematik, misalnya, mungkin dapat disusul keberlanjutannya dengan kelurahan tematik, jika perlu RT/RW tematik wajib dikembangkan dari hanya sekadar slogan menarik disertai dengan baliho menampilkan wajah figur tokoh publik.

Diperlukan pendekatan multi-disiplin dengan melebarkan batas pakem tradisional dalam mendefinisikan pembangunan (manusia) sebagai tekanan indikator kesejahteraan.

Eksposur media bertutur pertolongan cepat berdasarkan viralisasi jejaring sosial terhadap kaum miskin yang hidup di jalanan merupakan satu langkah maju. Hanya saja, perlu diingat bahwa caritas ekslusif liputan saja sulit menjamin alur berkesinambungan pada intervensi kebijakan sosial.

Narasi ekslusif Sorotan Riswanda (2022) bertema Bagaimana Kehadiran Pemerintah Dalam Mengentaskan Kemiskinan? menghadirkan penggiat sosial, sekaligus teknokrat dan akademisi dengan pengalaman professional di sepuluh kedinasan OPD, memberi makna pengingat bahwa nalar kritis mutlak menilai program sosial-kesejahteraan.

Penelitian terkait telaah kritis implementasi program-program rehabilitasi sosial penanganan gepeng oleh Dinas Sosial Kota melalui perda tertentu misalnya, cukup mudah ditemukan di mesin pencari repository perpustakaan kampus.  Apakah program sejenis pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan penyakit masyarakat juga sudah menyerap hasil konsepsi realitas seperti keberadaan kampung pengemis? Sebagian realitas bahkan terliput secara jurnalistik oleh Kompas TV (2015, 2016) dan CNN (2016).

Hasil bahasan RUU KUHP tentang hukuman bagi orang tua yang memanfaatkan anak untuk mengemis dengan pidana maksimal empat tahun (pasal 428 draf final) cukup penting terserap dalam pertimbangan program-program KS. Bukankah bukan hanya subsisdi BMM yang harus tepat sasar? Invididu yang terbukti menampung anak untuk dimanfaatkan mengemis atau menggelandang sewajarnya diganjar hukuman sama.

Termasuk denda menggelandang di ruang publik (pasal 429).  Solusi klasik bertagar 'pembinaan' tampaknya jenuh menyisir ragam kegiatan ketahanan sosial. Mekanisme berbasis pendalaman kajian tematik barangkali dapat menjadi penyegaran program di aras akselerasi program kesejahteraan terhadap ketidakpastian situasi sosial-ekonomi.

Keberimbangan pembangunan juga dapat ditelusuri melalui penanda wawasan lingkungan. Isu kesenjangan wilayah dapat ditelusuri melalui telaah potensi PAD dan indeks inovasi daerah.

Percepatan atau mengejar ketertinggalan pembangunan wilayah tertinggal nusantara sudah masuk dalam agenda pembangunan nasional. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengukur ketercapaian ragam program percepatan tersebut pada aspek pengkajian keberlanjutan tadi.

Solusi kebijakan terletak di sinergi perumusan dan pelaksanaan RPJM(D) terukur dari seberapa terintegrasi pendataan isu kewilayahan di masing-masing badan perencana daerah dalam menubuhkan kajian perencanaan.  Bukankah selama ini RPJMD menjadi acuan giat intra dan ekstra OPD? Jika masih terabaikan di tataran praksis, barangkali persamalahannya adalah pada cetak biru dari RPJMD itu sendiri yang lebih sering bernada abstrak dan mengawang alih-alih dapat menjadi rujukan 'praxis'.

Atau boleh jadi penyusunan RPJMD sendiri belum lengkap menggalang partisipasi seluruh OPD sebagai pemangku kepentingan. Sehingga belum dirasakan sebagai kesepakatan. Arah pembangunan nasional perlu berpijak pada evaluasi berkala dan berkelanjutan terlepas dari figur kepemimpinan politik.

Penulis adalah associate professor analisis kebijakan publik.

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB
X