Terhitung Juli 2022, my pertamina menjadi syarat pembelian BBM bersubsidi di setiap SPBU.
Penilaian subsidi tepat sasar menjadi dalih pemerintah memberlakukan persyaratan ini. Cakap keputusan membutuhkan continuum data yang telah dirubah menjadi informasi keputusan kebijakan (Riswanda 2022).
Desakan bengkaknya anggaran konsumsi BBM dalam APBN tentu berdasar. Membantun rilis INDEF (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN-Setjen DPR RI 2014), realisasi anggaran peruntukan subsidi ada di kisaran 210 triliun rupiah.
Sebagai perbandingan, pemakaian APBN bagi konsumsi BBM tercatat 45,039 triliun (32,6 persen porsi penggunaan) di 2009.
Selama lima tahun periode saja, tertatah laju penambahan porsi, yakni 42,7 persen (2010), 55,9 persen (2011), 61,2 persen (2012), menurun 57,4 persen (2013), lalu kembali naik 58,0 persen (2014). Meskipun, depresiasi nilai tukar rupiah ditengarai ikut mempengaruhi beban anggaran dalam hal ini.
Kemudian, di manakah sumber masalahnya? Kajian mendalam terkait persoalan subsidi BBM mutlak diperlukan.
Demi mengatasi kegalauan publik atas munculnya syarat baru berikut terobosan TIK berupa aplikasi.
Setidaknya, amatan kebijakan perlu menjawab siapakah sebetulnya penerima dampak akhir, the receiving ends meminjam frasa McIntyre-Mills, dari muara pembatasan subsidi pemerintah.
Publik membutuhkan penjelasan lebih dari sekadar narasi laporan bahwa upaya mengurangi pasokan pertalite dan solar di kawasan perumahan mewah telah dilakukan. Ragam pemberitaan media mengurai jenis mobil dan motor yang ke depan tidak lagi bisa membeli pertalite, sepertinya hanya menambah kegamangan.
Penyataan melarang mobil pejabat dan instansi pemerintah menggunakan BBM bersubsidi sudah sewajarnya dilakukan, tidak ada agitasi lebih disini. Pemasangan Radio Frequency Identification bagi 200 juta kendaraan juga seharusnya diberi detail penjelasan.
Evolusi kebijakan berkarakter 'push policy', menekan penggunaan kendaraan pribadi, baik dengan kebijakan pembatasan penggunaan maupun kepemilikan penting mendapat sorotan.
Masalah klasik dan menahun disfungsi penggunaan trotoar jalan untuk parkir kendaraan, sewajarnya membutuhkan terobosan solusi kreatif Dishub dan jika perlu lintas koordinasi gakum dengan semisal Pol PP.
Penggunaan CCTV dan penetapan denda pada contoh langkah aksi lain, dapat berkolaborasi secara dinamis dengan Dispenda. Siapa tahu selain menambah asupan bobot anggaran negara, dapat juga mengurangi rentetan parkir kendaraan di pinggir perumahan berbadan jalan sempit.
Jika perlu persyaratan memiliki garasi bagi pemilik kendaraan jangan hanya berlaku di kota-kota mega urban saja. Kaitannya dengan konsumsi BBM pada APBN? Semestinya push policy ini diterapkan bagi seluruh wilayah padat kendaraan di Indonesia.
Tertulis dalam Perpres 55/ 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Kenapa tidak mencari irisan antara peninjauan subsidi BBM dengan Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator) berisi capaian pergerakan orang dengan angkutan umum bertarget 60 persen dari total pergerakan orang? Pendalaman paradigma pemikiran sistemik seperti ini sebenarnya lebih bernilai dibanding sekadar kebaruan instrumen.
Jangan sampai ujung hasil ketetapan kebijakan dihiasi banjir aplikasi yang hanya menguntungkan sebagian orang saja.
Bagaimana dengan irisan kesenjangan digital penggunaan aplikasi dalam membeli bensin bersubsidi misalnya? Apakah sudah terkaji secara tepat? Kembali pada pertanyaan siapakah sebetulnya the receiving ends tadi jika parameter ketepatan subsidi ditinjau dari serapan bantuan bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah?
Resep lama melibatkan seluruh pemangku kepentingan seringkali tercampur-baur dengan sekadar mobilasi ragam komunitas (usaha).
Pertimbangan kebijakan mendasar seputar penggunaan kajian seperti indeks keeratan mitra dan indeks kemitraan partisipatif (Riswanda 2022) dapat menjadi terobososan pemerintah saat menentukan skala bobot prioritas subsidi.
Revitalisasi keberadaan aplikasi-aplikasi eksisting sepertinya kardinal untuk dilakukan. Eminen ketika berada di ranah ukuran kebermanfaatkan langsung bagi publik.
Memastikan sustainable output (luaran berkelanjutan) dari iniasi program-program baru dan evaluasi langkah-langkah aksi lama, sepertinya menjadi catatan tersendiri bagi komunikasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Apakah mungkin justru masalahnya adalah pada paradigma arkais administrasi pemerintahan yang masih berjalan sampai saat ini atau katakanlah patologi birokrasi? Sosialisasi program berkarakter usang dipenuhi dengan parade nasihat dan debat kusir atas sebuah inovasi, baik berupa apps baru atau platform anyar seolah bernuansa IPTEK, mesti beralih pada program edu-advokasi kebaruan langkah Pemerintah.
Menggalang nilai kreatif tidak harus selalu ditandai jelimet aplikasi dan berujung antrian mengular demi beroleh subsidi. Mencacah data kebutuhan riil masyarakat perihal hajat subsidi BBM terhitung terobosan sebetulnya.
Usulan alternatif bagaimana mekanisme tersebut bisa berjalan melalui kajian ilmiah (dan bukan bancakan bersama) adalah pekerjaan rumah selanjutnya.
Barangkali, terobosan baru di mekanisme serapan anggaran dan pemutakhiran mekanisme pelaporan kolot, justru inovasi yang dibutuhkan.
Penulis adalah associate professor analis kebijakan publik