• Selasa, 26 September 2023

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

- Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh : Riswanda

Milad ke-61 Presiden Joko Widodo seiring waktu kupasan perefleksi apik Perjuangan Desa Kuat, Indonesia Maju dan Berdaulat, mengingatkan publik akan pentingnya kesadaran intelektual akan situasi multi-krisis di era penuh ketidakpastian.

The age of uncertainty menetar ekonomi dunia, regional asia dan nasional katakanlah begitu. Titik pangkal catatan kritis Sorotan Riswanda kali ini bersendi pada Membangun Jejaring Ruang Kolaborasi Inovatif melalui Penguatan Social Enterprise: Evaluasi Perencanaan Pendekatan Pembangunan Manusia dan Pemerintahan (Riswanda 2022).

Tema bahasan turut hadir dalam Webinar Urgensi Pendidikan Vokasi Ditinjau dari Perspektif Kebijakan Publik (MAP Pascasarjana UNTIRTA, 18 Juni 2022).

Dengung pendidikan vokasi betul sehaluan dengan dinamika kebutuhan Dunia Usaha dan Dunia Industri, yakni kepiawaian tenaga kerja.

Jargon link and match mengedepan dengan harapan bahwa strategi kebijakan pendidikan ini jitu mengeramkan program-program pengentas pengangguran.

Merujuk cuplikan kinerjaecon.go.id milik Bagian Fasilitasi Penguatan Kinerja Kemenko  Perekonomian (2019), tingkat pengangguran di Indonesia mendekati 6,8 juta jiwa,  diisi lulusan vokasi sebesar 25 persen (BPS 2018).

Ketidakcocokan DUDI dengan alumnus vokasi ada di angka 50 persen. Padahal, data ini yang kemudian menjadi dasar arahan Presiden pada rapat terbatas di 21 November 2018, bagi penguatan harmonisasi kebijakan pengembangan vokasi secara nasional. Jadi bagaimana?

Riswanda.
Riswanda.


Perpres 82/ 2019 mendasari kemandirian pendidikan vokasi dalam Ditjen Pendidikan Vokasi.

Sebelumnya, pendidikan vokasi bernaung pada Ditjen lain. Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ada di bawah naungan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan  sebelum Perpres menjadi urusan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.

Sebuah capaian evolusi kebijakan jika Kita sedikit menukil pemikiran Kingdon (1995) dan Lieberman (2002). Diterimanya secara lambat laun rubahan sudut pandang baru dalam lingkaran komunitas kebijakan (Jagers 2019).

Perumus kebijakan legowo terhadap terobosan kebutuhan solusi anyar. Tentu saja, perjalanan evolusi kebijakan seringkali berada di pendulum manfaat kemajuan dan ekses minus. Bahkan terkadang menuai pro-kontra.

Seiring, Perpres membatasi ruang gerak kursus dan Lembaga Pendidikan Keahlian (LPK) yang sebelumnya menggalakkan sertifikasi sejenis vokasi.

Misalnya cukup umum dikenal publik pendidikan kursus Bahasa Inggris, Komputer dan pendidikan LPK sejenis. Kebijakan baru memusatkan pemberian ukuran kepiawaian pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lembaga setingkat Universitas.

Lebih rapih dan tertata secara tata kelola marwah vokasi. Meskipun perlu dilakukan evaluasi perencanaan mendalam dan berkala terkait seberapa jauh evolusi kebijakan ini berjalan, prospek apa saja yang sudah berjalan semestinya, sekaligus menghasilkan. Termasuk aspek mana saja ruang perbaikan diperlukan.

Keterlibatan multi dan lintas aktor dalam pemerintahan semestinya membawa proses politik kebijakan ke arah dinamis.

Artinya? Kompleksitas perkembangan isu perkotaan-perdesaan, termasuk fenomena mega urban membawa dampak bukan hanya tuntutan percepatan pembangunan fisik, melainkan juga akselerasi di aspek pembangunan manusia.

Arah strategi kebijakan vokasi jangan sampai Cuma membahas bagaimana kesinambungan upaya pembangunan tersentral. Keberimbangan pendalaman kajian wilayah, dapat mencakup pembahasaan bagaimana tren otomatisasi dan digitalisasi memunculkan jenis pekerjaan baru.

Selisih penilaian antara Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), ditambah misal sekelumit drama urusan kerumitan harus ini dan harus itu, tidak memberi warna segar terhadap arah penguatan vokasi.

Pemutakhiran Roadmap Kebijakan Vokasi 2017-2025 sewajarnya cakap mengurai fenomena pergeseran keterampilan.  Koordinasi kebijakan vokasi memanfaatkan tebaran lembaga yang sudah ada terbentuk, tidak perlu lagi disusun nama komite baru.

Jika hanya menambah beban centang persyaratan formalitas, dan bukan kemuliaan cocoknya keterampilan dengan DUDI, maka sebaiknya ragam pilot project SMK dan BLK tidak dipusingkan rumitnya jalur tempuh.

Rekonstruksi terma social enterprise (Riswanda 2022) sebaik-baiknya ikut hadir di giat seperti Rakornas Pelitbangan Pemerintahan Dalam Negeri (2019).

Meskipun tidak dijabarkan wilayah administratifnya,  tercatat baru 252 pemerintah daerah yang menginput inovasi dari 542 pemerintah provinsi, kab/kota di Indonesia. Dimana DKI Jakarta dihitung satu provinsi.

Kenapa harus dikaitkan dengan inovasi daerah? Seperti juga setir arah jalan kebijakan pendidikan vokasi yang tidak cukup sekadar pidato arahan pemerintah pusat ke wilayah daerah melalui webinar sehari penuh atau berhari-hari, ditutup hibah dengan syarat berselok-belok dan berakhir entah siapa menguji siapa, plus layak menggurui siapa.

Lebih elok proses evolusi kebijakan jitu menerapkan model kecerdasan jaringan dan mesin inovasi daerah (Riswanda 2022).

Kedua terma ini kategoris berpeluang menjejaringkan kegairahan dan kekuatan vokasi dengan regulasi eksisting berupa Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2017 tentang Inovasi Daerah; Permendagri nomor 104 tahun 2018 tentang Penilaian dan Pemberian Penghargaan dan/atau Insentif Inovasi Daerah; Keputusan Presiden no. 3/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD); Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 3 Tahun 2021 tentang petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus nonfisik dana pelayanan kepariwisataan. ***

Penulis adalah Associate Professor Analisis Kebijakan

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB
X