Oleh: Riswanda
Terma social enterprise, sering disebut juga dengan perusahaan sosial atau bisnis sosial, saat ini riuh rendah diperbincangkan.
Menggunakan frasa Riswanda (2022), sedikit banyak perbincangan berkisar persoalan bagaimana ‘menyambung daya tahan sosial selepas pandemi’? Mengapa, seberapa jauh dan menurut lensa pandang mana pertanyaan ini dapat terjawab? Kesempatan, pekerjaan dan sekaligus kebanggaan, menjadi irisan tersendiri saat Kita membicarakan jalinan dari tiang ide berbisnis dengan terpenuhinya tanggung jawab sosial.
Bisa seperti itu? Karena memang pada dasarnya konsepsi social enterprise justru terletak pada dengan cara apa re-investasi hasil keuntungan berbisnis didorong ke arah perubahan sosial.
Salah satu contoh persilangan orientasi keuntungan dan orientasi sosial dapat dilihat dari 64,5 persen dati total UMKM dipangku oleh kaum perempuan (BPS 2021).
Investasi sosial memberi arsiran peran perekonomian sekaligus pembangunan. Artinya, pembacaan social enterprise, meskipun jangan sampai hanya diartikan sebagai proyek sosial senyampang saja, membuka kesempatan baru memboyong kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang selama ini mungkin terpinggirkan dari angkatan kerja pada umumnya.
Energi komunitas melalui social enterprise berkontribusi 1.91 persen, atau 19,4 millar rupiah, dari GDP Indonesia (British Council-UNESCAP 2018).
Melalui kajian yang sama (PLUS 2018), mencatat 75 persen pemrakarsa social enterprise berada di usia 18-44 tahun, dimana 46 persen mayoritas berusia 25-24 tahun. Maknanya? Millenials tertarik memasuki ekosistem bisnis dinamis dimana arah pekerjaan demi mendapatkan penghasilan, ditunjang peluang membuktikan kebermanfaatan keahlian yang dimiliki.

Kebanggaan bekerja, bahkan kebesarhatian menciptakan lapangan kerja di bidang usaha tertentu, menjadi penanda capaian kordial hadirnya social enterprise.
Karena memang semestinya tolak ukur penjabaran sebuah bisnis sosial termasuk adanya misi sosial, atau setidaknya misi kepedulian lingkungan — yang juga dapat diartikan sebagai lingkungan sosial (social enviro).
Dimana karakteristik lainnya ditandai oleh kemandirian bisnis berjalan, juga pemilik memiliki kendali penuh terhadap kedua misi tadi. Kenapa mesti seperti itu? Sebab kendali ini memberi keleluasaan wirausahawan sosial, katakanlah begitu, untuk memutuskan re-investasi sebagian keuntungan bisnis mereka demi kepentingan tujuan sosial — yang sedari awal menjadi marwah pendirian usaha.
Pekerjaan rumah selanjutnya, bagi penggiat social entreprise adalah mengenalkan model bisnis mereka ke publik.
Bermunculan ragam platform bisnis senada saat ini. Salah satu contoh kreatif berjiwa milenial, sebut saja Bladu (belajar langsung dapat uang).
Membawa martabat pendidikan dan pelatihan vokasi ke jejaring kerja berkebutuhan nyata, yaitu menghasilkan pendapatan. Dan sepertinya masih banyak lagi bertebaran penggagas-penggagas lain Nusantara.
Artikel Terkait
Doni Salmanan Jadi Tersangka, Mahar Pernikahan dengan Dinan Nurfajrina Kembali Jadi Sorotan
Podcast Bersama Doni Salmanan Kembali Menjadi Sorotan, Bambang Soesatyo: Uang Jin Dimakan Setan
Pengurus LPPOM-MUI Provinsi Banten Masa Khidmat 2022-2027 Resmi Dilantik, Sertifikasi Halal Jadi Sorotan
Sampah yang Menumpuk di Pasar Labuan Jadi Sorotan Sekda Pandeglang, Ancam Putus Kontrak Pihak Ketiga
Pengeroyokan Ade Armando Jadi Sorotan Media Internasional
Video Ustadz Yusuf Mansur Ngaku Bisa Bicara Dengan Semut dan Diikuti Rasulullah Jadi Sorotan
Khalil TokTok Umrah dengan Rambut Berwarna, jadi Sorotan Orang-orang Sekitar
Daftar Permintaan Tri Suaka Saat Manggung Mendapat Sorotan, Netizen Bandingkan Dengan Band Gigi
Viral Lamaran Anak Gadis Umur 16 Tahun, Ekspresi Wajahnya Jadi Sorotan Warganet
Menikah Hari ini! Potret Pernikahan Maudy Ayunda Jadi Sorotan