Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

- Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh: Riswanda

Sorotan Riswanda kali ini adalah sebuah dialektika. Tanggal 26 april 2022 bisa jadi menorehkan catatan penting bagi dialog kebijakan publik di Indonesia.

Mengapa? Selain terbitnya Keppres 4/ 2022 tentang Cuti Bersama Pegawai Aparatur Sipil Negara, Presiden Joko Widodo turut menekankan dua hal penting pada sisi pengambilan keputusan kebijakan.

Pertama, tidak ada penundaan pemilu di 2024 — menjawab drama dan kegalauan satir politik. Kedua, Presiden menjangankan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng.

Kebijakan pembatasan ini mulai berlaku 28 April 2022, sampai titik periode yang akan ditentukan selepas polemik pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Sejalan, 26 april tahun ini menjadi momentum peringatan hari kekayaan intelektual sedunia.

Wakil Presiden Republik Indonesia menegaskan kebutuhan aksi nyata fondasi kekayaan intelektual. Sumber Daya Manusia Indonesia menjadi perhatian, dan sorotan ekonomi kreatif ikut disentil.

Lalu, mengapa dan bagaimana rentetan titik kata kebijakan tersebut di atas dapat disebut sebuah dialektika kebijakan? Menguip pemikiran Hegel (1770-1831), dialektika bisa dipahami sebagai dua hal yang diperhadapkan atau diperselisihkan untuk kemudian “diakurkan”, didamaikan dalam sebuah pengiyaan.

Secara sederhana, sebutlah kontradiksi, paradoks atau penyangkalan merupakan pengayaan untuk saling menyigi. Jadi pemahaman bersahaja dialektika kebijakan ialah pergeseran dinamis mendekati suatu transformasi atau perubahan.

Peralihan ke arah lebih baik tentu harapan Kita semua atas jalan keluarkebijakan. Mengikuti semangat ini maka tidak ada fakta absolut, sebab realitas masalah kebijakan mengikuti hukum dialektik tadi.

Tarikan pembelaran apa saja yang dapat dipetik saat Kita meniti filsafat dan logika ‘perubahan atas tesis oleh anti-thesis menjadi synthesis’?

Riswanda.
Riswanda.

Jika kebijakan awal Kita analogikan sebagai telur (thesis), selanjutnya muncul bebek (synthesis) sebagai dampak keputusan, maka belum tentu bermakna bahwa bebek telah menghancurkan telur.

Namun, dalam pemikiran dialektika, telur telah melangkaui dirinya sendiri maka dari itu menjadi bebek. Kelak bebek akan juga melalui proses kembali menjadi telur dan konstan seperti itu sebagai kias dinamika siklus kebijakan.

Seumpama alur pikir ini coba diterapkan pada rentetan kebijakan terbilang di awal tulisan ini, terdapat beberapa cetak tebal pendedahan dialektika kebijakan publik.

Halaman:

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB

KKB, Arsitektur Sosial dan Silaturahmi Pemikiran

Sabtu, 12 Maret 2022 | 05:53 WIB
X