• Selasa, 26 September 2023

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

M Hilman Fikri
- Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh : Riswanda

Bantuan pemerintah bergulir, lebih tepatnya santunan, seiring berkecambahnya persoalan migor (Riswanda 2022).

Penetapan cuti lebaran oleh Pemerintah baru saja, seharusnya menjadi nilai empatik tersendiri di tengah himpitan persoalan sosial-ekonomi eksisting.

Sentilan Presiden Joko Widodo terhadap Menteri-Menteri terkait, agar lebih sensitif terhadap perbahasan kesulitan BBM dan Sembako ikut mewarnai ketetapan jelang lebaran. Uraian Sorotan Riswanda (2022) mengenai subsidi upah pegawai atau lebih tepatnya santunan pendapatan tiga juta, mungkin dapat menjadi arsiran tafsir sebuah catatan kebijakan bernilai empatik.

Teguran Presiden terhadap kurangnya penjelasan kebijakan, sebetulnya membuahkan dua kebolehjadian.

Apa saja? Seberapa besar kemungkinan Menteri pada kabinet eksisting memandatkan sebuah respon solusi kebijakan tanpa persetujuan Presiden? Bukankah Dewan Ketahanan Nasional, dikenal dengan Wantannas, seharusnya menyiapkan pemikiran cepat (kirpat) atas isu krusial tertentu untuk menjadi bahan telaahan Presiden? Atau, Kedeputian Stratejik Lembaga Ketahanan Nasional, dikenal dengan Lemhanas, pastinya cukup mumpuni memastikan basis pengambilan keputusan bagi Presiden jika semisal masih dianggap kurang. Belum termasuk peran Kantor Staf Presiden (KSP), penyedia dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam memperhatikan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis Nusantara.

Lalu, kenapa masih ada kebijakan ternilai kurang sensitif dan dikatakan tidak empatik oleh RI 1? Jangan-jangan, kebolehjadian kedua yang terjadi.

Menteri bergerak di luar pengawasan, atau tanpa persetujuan Indonesia Satu? Atau barangkali yang terjadi adalah abai parokial, serupa penjelasan ‘kuliah 4.0’ (Riswanda 2022). Berlalunya kepakaran, mengunakan seloroh Riswanda (2021, 2022) ‘tukang bakso diminta untuk menganalisis bubur, bakso tidak jelas hasilnya, bubur pun sama remangnya’.

Riswanda PhD
Riswanda PhD

Spesialis, ahli atau pakar kelihatannya tidak lagi menjadi sumber rujukan resep antisipasi-solusi keputusan kebijakan. Kenapa boleh jadi dianggap seperti itu?

Pakar pastinya memahami betul literasi, tidak asal bunyi dan lanjut nyerocos, atau berkata terus-menerus dengan lancar dan cepat sehingga orang lain tidak sempat menyela. Menggarisbawahi penguasaan tema kajian, semisal ‘Empathy and emotions in policymaking’ (King’s College London 2022) dapat menjaga wibawa Presiden dari keputusan tergesa dan berbuah drama publik.

Menekuni bagaimana instrumen kebijakan seharusnya memedulikan ukuran emosi dan empati, bukan pekerjaan kebut semalam. Pemahaman konektivitas, keterhubungan antara kebijakan dengan narasi mendalam, dari mereka yang seharusnya terwadahi oleh sebuah produk regulasi adalah literasi ilmiah.

Minus bekal sudut pandang, pendekatan dan nalar kritis kebijakan, niscaya kebijakan publik kembali masuk pada kritik klasik. Alih-alih menjadi solusi atas sebuah masalah publik, malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

Atau lebih parah lagi menjadi entitas yang justru menimbulkan masalah baru. Perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) plus segala atribut automasi kecanggihan masa kini, tentu bukan lagi alasan hadirnya miskomunikasi antar perumus dan kelompok sasar kebijakan. TIK membuka ruang bagi penyusun cetak biru kebijakan untuk menggunakan kesempatan berinteraksi, dengan lebih interaktif bersama ragam segmen penerima dampak. Bukan sekadar ribuan halaman hasil rumusan dan ditutup bahasa kekuasaan.

Halaman:

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB
X