Kegagalan Pasar dan Subsidi Migor, Siapakah yang Diuntungkan?

M Hilman Fikri
- Selasa, 29 Maret 2022 | 19:15 WIB
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)
Riswanda PhD. (Dokumentasi pribadi.)

Oleh : Riswanda

Riswanda (Sorotan, Banten Raya 12 Maret) mengulas kekusutan minyak goreng (migor) Nusantara. Senapas, Sorotan Riswanda (2022) meresepkan bagaimana sebaiknya kebijakan publik dirumuskan dan diterapkan. Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 11 tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah tadinya diharapkan menjadi solusi melambungnya harga minyak goreng (migor) di pasaran.

Menteri meyakinkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah sebesar Rp l4.000,00 perliter atau Rp15.500,00 perkilogram.

Lebih tegas lagi dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 regulasi kebijakan ini, pelanggar ketetapan tersebut menangung sanksi berupa penghentian kegiatan sementara dan atau pencabutan perizinan berusaha.

Namun, pertanyaannya kemudian kenapa sampai dengan saat ini migor masih menuai permasalahan. Hilang kelangkaan berganti melambungnya harga ecer di pasaran.

Siapa sebetulnya mafia minyak goreng seperti dibahasakan banyak pemberitaan media? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, ditambah Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015, mengait Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, cukup komplit mewarnai dasar rujukan intervensi kebijakan atas kemungkinan kegagalan pasar (market failure).

Pembelajaran kebijakan apa yang dapat Kita jadikan kontemplasi melihat kekusutan migor yang berkepanjangan? Apakah kekisruhan ini disebabkan oleh mandulnya intervensi pemerintah terhadap kenaikan harga migor di pasaran? Keresahan publik tampak natural saat menemui gejolak mekanisme pasar terhadap pihak-pihak penentu eskalasi harga, sekaligus penyalur dan penjual migor.

Siapakah yang sebetulnya diuntungkan dari polemik ini? Kenapa sekarang tiba-tiba minyak goreng mendadak normal tersedia

Nalar kritis kebijakan yang dapat Kita gunakan saat mengulas ini, dapat dimulai dari pertanyaan bahwa kegagalan pasar seharusnya mendorong intervensi kebijakan.

Riswanda PhD
Riswanda PhD

Bagaimana jika intervensi kebijakan justru melahirkan kegagalan pasar yang baru? Siapakah sebetulnya yang menjadi beneficiary kebijakan stabilisasi harga migor? Seperti lansiran warta media terakhir, Presiden Joko Widodo telah langsung turun tangan dengan menggelar rapat terbatas (ratas) dan mengunjungi sendiri pasar tradisional (CNBC Indonesia 2022, Merdeka 2022).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Tribunnews 2022) bahkan menambahkan perlunya multi-sinergi penanganan, yaitu Kemendag dibarengi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebuah catatan yang laik diperhitungkan mengingat taksiran keterlibatan kartel dan oligopoli dalam usaha dagang migor. Keadaan pasar dimana terdapat dominasi dari hanya sejumlah kecil kongsi atau industri di kegiatan penjualan migor. Mengakibatkan diperolehnya tampuk kendali penawaran pasar atas produk migor.

Betul, bahwa pemerintah memiliki Badan Pangan Nasional (Bapanas), Badan Urusan Logistik (BULOG), dan Satgas Pangan Nasional untuk juga ikut ditugaskan. Katakanlah lebih dekat difungsikan memastikan stabilnya ketersediaan dan keterjangkauan harga migor. Kenapa harus seperti itu? Kebijakan Migor tidak hanya semata urusan perdagangan.

Aspek ekonomi politik cukup kental terasa. Bagaimana imbasnya? Pembelajaran mendasar dari kebijakan ekonomi adalah perihal kelangkaan (scarcity). Bisa jadi tidak ada yang pernah cukup tersedia untuk mencukupi kebutuhan mereka yang menginginkan produk barang atau jasa tertentu.

Halaman:

Editor: M Hilman Fikri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kembali membicarakan IKN

Selasa, 27 September 2022 | 17:41 WIB

RUU PRT, Lalai Anasir Perlindungan Anak

Rabu, 14 September 2022 | 09:43 WIB

Makna Emotif Penataan Kebijakan Sosial

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 15:49 WIB

Melampaui Perbahasan Stunting

Selasa, 2 Agustus 2022 | 09:53 WIB

Hal Ihwal Desain Kesejahteraan Publik

Rabu, 20 Juli 2022 | 06:17 WIB

Cut off Inovasi Muluk, Bidik Pangkal Masalah

Sabtu, 2 Juli 2022 | 16:44 WIB

Mendendangkan Kebijakan Vokasi, Sudah Jitu kah?

Jumat, 24 Juni 2022 | 03:31 WIB

Mempercakapkan Social Enterprise

Minggu, 22 Mei 2022 | 20:46 WIB

Stigma yang Terlupakan

Selasa, 17 Mei 2022 | 11:00 WIB

Payung Pelindung Ruang Aman bagi Perempuan

Jumat, 6 Mei 2022 | 08:10 WIB

Dialektika Kebijakan, dan Bukan Drama

Jumat, 6 Mei 2022 | 07:00 WIB

Titian Perkotaan dan Perdesaan

Jumat, 6 Mei 2022 | 01:06 WIB

ATM Beras sampai Subsidi, Ukuran Sejahtera?

Senin, 18 April 2022 | 15:24 WIB

Conundrum Cuti Bersama dan Teguran Berempati

Minggu, 17 April 2022 | 13:37 WIB

Fakta Menarik Politik, Seputar Lingkaran Mistis

Sabtu, 2 April 2022 | 05:53 WIB

Bangga Buatan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Jumat, 1 April 2022 | 06:22 WIB

Kekusutan Minyak Goreng dan Filosofi Batman

Sabtu, 12 Maret 2022 | 06:02 WIB

KKB, Arsitektur Sosial dan Silaturahmi Pemikiran

Sabtu, 12 Maret 2022 | 05:53 WIB
X