Oleh: Riswanda
Era hyper-connected memanggil insan berdaya saing unggul. Hiperkonektivitas sering diartikan sebagai penggunaan pancawarna sistem dan perangkat yang dapat menjejaringkan sumber informasi bagi penggunanya. Konektivitas internet menjadi kunci sosial keterhubungan antar invidu, dan berimbas pada pola interaksi antar lembaga.
Kelembagaan kerja adalah salah satu penerima imbas. Pemahaman populer ‘revolusi industri 4.0’ berikut sembilan pilar usungan jargon ini mencuat dalam diskusi ketenagakerjaan. Lingkup diskusi dimana sektor tenaga kerja menjadi sorotan lebih. Mengapa begitu?
Pertama, sedikitnya enam dari kesembilan pilar ‘revolusi industri 4.0’, bukan sekedar jargon kosong. Internet of things, cloud computing, big data analytics, artificial intelligence, super apps dan broadband infrastructure berdampak serius pada tipe kebutuhan tenaga kerja.
Tenaga kerja tanggap digital dapat dengan mudah menggeser pasaran pekerja konvensional. Tentu saja pemahaman keterampilan digital tidak terbatas pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Riswanda (2020, KORAN SINDO, 2 September) menekankan keterampilan multi-tasking sebagai kebutuhan primer diskursi ketenagakerjaan, ‘melecut penciptaan lapangan kerja yang berkualitas sebanyak 2,7 sampai 3 juta per tahun’ adalah haluan bersama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 122 tahun 2020 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah tahun 2021, mempercepat pemulihan ekonomi dan reformasi sosial, tepat mengisi diskursi ini. Prioritas Nasional 3, ‘Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing’ semestinya menggarisbawahi matriks pengaktualan program kerja pemerintah di situasi pandemi COVID-19. Penciptaan lapangan kerja baru berkualitas secara mahardika, sebenarnya mampu meyepadankan program pemulihan ekonomi dengan penanganan dampak pandemi.
Kedua, kompleksitas dunia kerja kontemporer sepertinya melabelkan kemewahan bagi pekerja untuk bisa nyaman mengerjakan satu saja jenis pekerjaan dalam satu waktu. Pada banyak tipe pekerjaan kekinian, pemberi kerja biasanya memilih pekerja yang sanggup menangani multi-prioritas sekaligus.
Semakin kompetitif ketersediaan lapangan kerja, menyempit pula pilihan bagi pekerja untuk tidak ikut menyesuaikan keterampilan dan kesanggupan multi-tasking. Kecakapan merotasikan pikiran dan konsentrasi dari satu aktivitas kerja ke aktivitas lain, disambi kemampuan memilah mana yang harus didahulukan berdasarkan bobot prioritas, bisa dikatakan penjelasan sederhana dari multi-tasking skills. Jadi, cukup jelas bahwa keterampilan mutakhir justru lebih pada ukuran andal berpikir dibanding hanya sekedar melek digital.

Artikel Terkait
Susi Pudjiastuti Tanggapi Rencana Renovasi Ruang Kerja Nadiem Makarim Rp5 Miliar, Ini Komentarnya
Menko Airlangga Giat Lakukan Kunjungan Kerja, Kota Medan Memanfaatkan Program Kartu Prakerja dengan Baik
Unbaja Gelar Pembekalan Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
Tak Terasa Sudah 100 Hari Kerja, Ini Program Kerja Pasangan Irna-Tanto
Warga Cilowong Belum Terima Dana Kompensasi Kerja Sama Sampah Tangsel