BANTENRAYA.COM – Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dan pembuangan sampah pada Dinas Lingkungan Hidup atau DLH Kota Tangerang Selatan atau Tangsel, Sukron Yuliadi Mufti (54), yakni Hutomo Daru Pradipta, berharap majelis hakim Pengadilan Tipikor Serang dapat menerima eksepsi atau keberatan yang diajukan pihaknya.
“Kami di sini semua sama-sama berjuang untuk menegakkan keadilan dalam mencari kebenaran formil. Seharusnya majelis hakim menerima eksepsi kami jika tidak ada intervensi,” kata Hutomo.
Hutomo tetap berpendapat bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten tidak sesuai dengan ketentuan setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Dalam putusan tersebut, kata dia, MK menghapus kata dapat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Akibatnya, delik dalam kedua pasal itu berubah dari delik formil menjadi delik materil.
BACA JUGA: 2 Penjual Kopi di Pinggir Tol Tangerang-Merak Jalani Sidang, Didenda Rp50 Ribu
Sementara itu, jaksa dalam tanggapannya menolak seluruh keberatan tersebut.
Mereka berpendapat bahwa kewenangan menentukan adanya kerugian keuangan negara tidak semata berada pada satu lembaga.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara dianggap nyata apabila jumlahnya dapat dihitung berdasarkan hasil temuan instansi berwenang atau akuntan yang ditunjuk.
Namun, Hutomo menilai tanggapan tersebut keliru dan berpotensi menyesatkan.
Ia menegaskan bahwa pasal tersebut justru mengatur mekanisme ketika penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup.
“Jaksa telah keliru yang berpotensi menyesatkan kehidupan bangsa. Pasal 32 ayat (1) itu mengatur ketentuan-ketentuan yang dapat dilakukan jaksa apabila dalam hal penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup, maka perkara tersebut harus diserahkan ke Jaksa Pengacara Negara untuk selanjutnya dilakukan gugatan perdata tatkala secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hutomo juga menilai jaksa keliru dalam mengutip Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 untuk memperkuat dalilnya.
BACA JUGA: Terungkap Dalam Sidang, Kades Kohod Terima Uang Rp500 Juta Dalam Kasus Pagar Laut
Menurutnya, amar putusan tersebut sejatinya menolak permohonan uji materiil terhadap Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Nah, terkait putusan MK No 31/2012 itu enggak bisa digunakan sebagai pedoman. Karena amar putusannya menolak permohonan uji materil terkait Pasal 6 huruf a UU 30/2002 di mana pasal tersebut mengatur ketentuan untuk penyidik pada komisi pemberantasan korupsi,” jelasnya.
“Sedangkan perkara ini dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Ditambah lagi mereka menggunakan putusan MK yang amar putusannya menolak uji materil terhadap pasal 6 huruf a,” sambungnya.***
















