BANTENRAYA.COM – Penyakit Infeksi Menular Seksual atau IMS di Provinsi Banten mengalami peningkatan.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Banten menunjukkan kasus IMS tahun 2025 hingga Mei mencapai 1.611 kasus IMS.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten Ati Pramudji Hastuti mengatakan, seperti tren IMS di tingkat nasional, pada tingkat Provinsi Banten juga mengalami peningkatan.
Baca Juga: Jalan Rusak di Sambirata Bertahun-tahun Tak Kunjung Diperbaiki, Warga Cemas Keselamatan Anak Sekolah
Sementara kelompok yang paling banyak tertular penyakit IMS adalah kelompok remaja.
“Sama saja (seperti kasus di nasional-red), trennya remaja,” kata Ati, Rabu (2/7/2025).
Dari 1.611 kasus IMS tersebut, paling banyak terdeteksi di Kabupaten Tangerang, disusu oleh Kabupaten Pandeglang. Sementara kasus paling sedikit terdeteksi di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak.
Baca Juga: Panen Udang Vaname, Desa Domas Didorong Jadi Kampung Nelayan Merah Putih
Adapun rinciannya adalah, di Kabupaten Tangerang terdeteksi 823 kasus, Kabupaten Pandeglang 223 kasus, Kota Tangerang 222 kasus, Kota Tangerang Selatan 216 kasus, Kota Serang 53 kasus, Kabupaten Serang 37 kasus, Kota Cilegon 32 kasus, dan Kabupaten Lebak 5 kasus.
Ati menyatakan, Kementerian Kesehatan RI menginstruksikan agar penemuan kasus IMS digencarkan. Karena itu, kasusnya saat ini melonjak tidak hanya di tingkat nasional melainkan juga di Provinsi Banten.
“Dengan aktif penemuan kasus di lapangan ini maka kasus-kasus yang ada banyak ditemukan,” katanya.
Baca Juga: Jelang Launching Nasional, 326 Desa Terima Akta Badan Hukum Kopdes Merah Putih
Tinggi penemuan kasus juga mengindikasikan bahwa saat ini kesadaran masyarakat yang memeriksakan kesehatan, terutama ke dokter kulit, semakin tinggi. Dengan semakin dini pendeteksiannya, maka harapan disembuhkan juga akan semakin besar.
“Masyarakat datang ke dokter kulit itu artinya harapan besar karena akan cepat disembuhkan karena langsung dapat ditanganinya,” katanya.
Ati tidak menampik penyebab dari tingginya kasus penyakit IMS di Banten karena seks bebas yang dilakukan remaja. Namun, IMS akan menular apabila salah satu dari yang berhubungan seks memang sudah menderita penyakit tersebut.
Baca Juga: 17 SPBU di Lebak Tak Terdaftar WP, Potensi Pajak Puluhan Juta Hilang
Bila ada pasangan yang menderita IMS, Ati meminta agar keduanya memeriksakan diri ke dokter. Sebab bila hanya salah satu maka penyakit akan bisa berpindah-pindah. Sebab keduanya harus diperiksa untuk menemukan pada siapa penyakit itu diidap.
“Ketika ada salah satu pasangan yang menderita IMS, maka harus dua-duanya berobat. Karena kalau cuma satu nanti pingpong, karena itu penularannya cepat,” katanya.
Untuk itu, Ati menyarankan kepada para remaja yang ingin terhindar dari penyakit IMS agar mereka belajar tentang bahaya hubungan seksual yang tidak aman, mengetahui tentang alat reproduksi, dan menghindari perilaku berisiko, termasuk seks bebass.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI Aji Muhawarman, dalam tiga tahun terakhir kasus IMS meningkat, termasuk di kelompok usia muda.
Data Kemenkes mencatat 23.347 kasus sifilis pada tahun 2024, mayoritas merupakan sifilis dini (19.904 kasus), dan 77 di antaranya adalah sifilis kongenital, yang menular dari ibu ke bayi. Gonore juga tercatat tinggi dengan 10.506 kasus, terutama di DKI Jakarta.
“IMS bukan hanya masalah kesehatan pribadi, ini masalah kesehatan masyarakat. IMS membuka pintu bagi penularan HIV, dan kasus terbanyak terjadi di usia produktif 25-49 tahun, bahkan kini mulai meningkat pada usia remaja 15-19 tahun,” kata Hanny Nilasari dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Ia menambahkan, infeksi Human Papillomavirus (HPV) salah satu IMS yang dapat memicu kanker serviks masih menjadi ancaman serius bagi perempuan, khususnya jika tidak terdeteksi sejak dini.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Banten Santoso Edi Budiono mengatakan, hingga saat ini belum pernah ada data IMS yang akurat bahkan sampai tingkat pusat, karena penderita IMS berobat di banyak tempat, misalnya di puskesmas, rumah sakit, praktik dokter pribadi, layanan kesehatan swasta, bahkan ada juga yang coba-coba mengobati sendiri.
“Ini yang menyulitkan untuk membuat perencanaan program perawatan atau pengobatan,” katanya.
Baca Juga: Dipanggil Walikota Robinsar Terkait Pemecatan 93 Karyawan, Ini Alasan PT Bungasari Flour Mills
Selama ini, kata Santoso, data yang ada hanya terbatas pada data yang dikumpulkan dari 13 rumah sakit pemerintah yang memiliki pendidikan dokter spesialis kulit dan kelamin. Ditambah dari beberapa rumah sakit dan puskesmas melalui laporan kasus bulanan.
“Mungkin pemerintah sudah harus membuat laporan kasus IMS melalui aplikasi yang sederhana tapi cukup bisa menggambarkan berapa banyak kasus IMS, jenisnya apa saja, jenis kelamin, usia, sumber penularan, terapi, dan sebagainya,” ujarnya. ***

















