Oleh : Riswanda
Ketegasan jaminan kesehatan masyarakat ditandai dengan Inpres 1/ 2022. Pemerintah menitahkan tiga puluh K/L untuk memandang patut keanggotaan JKN-KIS di bermacam-macam hajat layanan publik.
Diantaranya kewajiban menyertakan kartu anggota saat mengurus SIM, STNK, SKCK, syarat jual beli tanah dan rumah, sampai kepada centang administrasi naik haji. Riswanda (2022) memantik dialektika kemangkusan instumen kebijakan, terpaut cekram kesehatan publik ini.
Persilangan asas kesadaran hukum (sadarkum) dan kesadaran kesehatan (sadarkes) jelas tampak dalam inisiasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional. Statiistik kepesertaan JKN-KIS mencapai 86 persen (BPJS 2022), serempak menargetkan 98 persen kepesertaan publik di 2024 sebangun arah RPJM.
Kendatipun, cara pemerintah menyadarkan masyarakat akan pentingnya asuransi kesehatan publik bisa saja ditafsirkan menekan bagi sebagian orang.
Semisal, tidak dapat berangkat haji dan gagal mengurus STNK tanpa kartu anggota BPJS.
Setidaknya, pengenaan penalti di depan ini dapat didampingi cara yang lebih persuasif. Kenapa demikian? Pertanyaannya, bagaimana kondisi masyarakat tidak mampu dengan kewajiban ini.
Karena boleh jadi persepsi yang terbangun adalah BPJS mempersulit atau menambah beban birokrasi yang selama ini menjadi momok publik.
Sisi lain, transformasi layanan online masih banyak menimbulkan kekalutan. Pendaftar dengan nama-nama dan NIK yang sudah online di data pusat (Dirjen Dukcapil Kemdagri, masih menyisakan gap atau kesenjangan dengan data di Kecamatan.
Apakah narasi dari anggota masyarakat yang dihadapkan pada data kecamatan yang belum online, telah masuk dalam peramalan (forecasting) dampak penerapan? Susunan cetak biru kewajiban penyertaan tanda peserta BPJS penting menyertakan isu integritas data antar K/L, sejauh apakah masih harus diperbaiki?
Layanan administrasi untuk peserta dan calon peserta BPJS Kesehatan, seperti Mobile JKN, CHIKA, BPJS Kesehatan Care Center 165, sampai media sosial BPJS, mengarahkan masyarakat secara daring selama pandemi.
Sayangnya, ketika calon pendaftar mengalami persoalan di tengah proses mendaftar, layanan kasatmata seperti layaknya ‘chat bot’. Sebab hanya memberi jawaban berupa beberapa link yang dapat ditelusuri oleh calon peserta.
Denda maksimum 30 juta setelah peserta menggunakan layanan BPJS namun tidak meneruskan iuran keanggotaan, cukup menimbulkan kekalutan publik. Diseminasi informasi diperlukan disini. Tujuannya? Agar tidak mengurungkan niat publik merapihkan perihal keanggotaan.
Asas sadarkum adalah pendekatan apik tentunya. Cakap didampingi oleh sadarkes bahwa jaminan kesehatan oleh negara dipayungi regulasi perundangan. Yakni UU SJSN Tahun 2004, UU BPJS Tahun 2011, PP 86/ 2013, Perpres 82/ 2018, Perpres 64/ 2020, Inpres 8/ 2017, hingga difinalisasi Inpres 1/ 2022.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah, bagaimana solusi kebijakan juga dapat menyasar jalan keluar untuk bagaimana menghilangkan persepsi bahwa calon pasien dinomorduakan secara layanan kesehatan.
Lambatnya pesyaratan birokrasi yang harus dibereskan di meja depan RS banyak diungkap di media sosial.
Apakah ini merupakan system failure, masalah klasik respon claim RS terhadap biaya pengobatan pasien? Atau mungkin bentuk persaingan asuransi dengan penyedia layanan asuransi privat? Jangan sampai persaingan ini menjauhkan marwah kesetaraan jaminan kesehatan masyarakat.
Pasar asuransi publik bisa tergurus melirik asuransi partikelir yang mulai jelas menawarkan polis asuransi dengan premi terjangkau. Pertanyaan kritis, sejauh apa JKN dengan BPJS dengan Askes di skema pendahulu? Ikhtiar penegakan hukum terhadap Pemberi Kerja di luar Penyelenggara Negara yang masih tidak paham (atau barangkali pura-pura tidak paham) membayarkan iuran JKN pekerjanya, harus menjadi prioritas juga. Community resilience, atau ketahanan komunitas perlu dikobarkan dalam upaya ini.
Salah satunya adalah melaporkan ungkap kasus oleh komunitas masyarakat atas pengabaian aturan oleh pemberi kerja.
Jangan sampai sewaktu publik telah (dipaksa) sadarkum dan sadarkes, pemberi kerja masih menutup mata atau menciptakan drama galau minim pemasukan, alasan tolerir kewajiban.
Perihal ketenagakerjaan (Riswanda 2022) sebetulnya lintas aspek, dan multi-jenjang sosial ekonomi. Penanganan terpadu multi-sektor dapat menjadi kuncian baru dibanding sekadar wacana terkotak-kotak kebidangan tertentu saja.
Contohnya saja, persilangan penegakan hukum dalam jendela kemungkinan pengabaian di atas, dengan layanan kesehatan. Studi komparatif dibutuhkan untuk setidaknya meninjau bagaimana alur pikir pembangunan kesehatan publik dapat terancang dan terlaksana secara kategoris.
Utamanya, jika Kita meninjau kebutuhan keberimbangan pembangunan ini di periode selepas pandemi. Tax benefit dari tax payer atau pembayar pajak Indonesia apakah tidak bisa disandingkan dengan jaminan kesehatan nasional? Bagaimana data berubah menjadi sumber informasi dan kemudian bertransformasi menjadi pengetahuan kebijakan JKN-KIS, bisa jadi merupakan frasa kunci selanjutnya.
Pendataan narasi keluhan masyarakat secara geo-spasial menjadi salah satu baseline data sederhana. Ukuran ketegasan dan kerjasama antar instansi pemerintah lebih terukur jika ada acuan baseline sebagai instrumen evaluasi. Dengan kata lain, jendela penilaian program-program eksisting, dan bukan sekadar mengedepankan bahasa birokrasi. ***

















