BANTENRAYA.COM – Kampung Kebanjiran dan Penauan menjadi salah satu kampung tua di Kota Cilegon.
Dimana, Kampung Kebanjiran dan Penauan di Kelurahan Kubang Sari, Kecamatan Ciwandan menjadi salah satu daerah yang juga erat kaitannya dengan meletusnya Gunung Krakatau 1883.
Dinamai Kampung Kebanjiran punya hubungan erat dengan peristiwa yang menjadi tragedi dan dicatat dalam sejarah dunia.
Termasuk juga Kampung Penauan yang bersamaan dinamai karena hubungan peristiwa bencana besar yang menenggelamkan sebagian besar desa dan kampung di Kota Cilegon.
Berdasarkan catatan sejarah yang ditulis dalam buku ‘Toponimi Nama-nama Daerah di Kota Serang’ terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten dengan Banten Heritage pada 2015 yang ditulis Sujana D, diungkap jejak sejarah Kampung Kebanjiran dan Penauan di Kota Cilegon.
Dalam referensi tersebut Kampung Kebanjiran muncul karena adanya tsunami setinggi hampir 40 meter menerjang berbagai kampung dan desa di Banten, termasuk juga Lampung.
Dalam peristiwa tersebut salah satu kampung di Kelurahan Kubang Sari Kota Cilegon terjadi kebajiran akibat tsunami, sehingga penduduk sekitar menamainya Kampung Kebanjiran.
Selanjutnya, ada juga Kampung Penauan juga erat dengan Kampung Kebanjiran, dimana secara bahawa tau merupakan istiral menguras dalam Bahasa Indonesia. menau atau penauan berarti menguras karena banjir yang terjadi.
Baca Juga: Ingin jadi Pemilik Maxim di Kota Anda? Simak di sini Cara Membuka Bisnisnya
Selain Kampung Kebanjiran dan Penauan, ada juga beberapa kampung yang muncul dan namanya erat dengan peristiwa di Kota Cilegon, misalnya Kampung Penyurungan di Kelurahan Randakari.
Kampung Penyurungan, Kelurahan Randakari, Kecamatan Ciwandan menjadi salah satu kampung yang namanya diambil berdasarkan peristiwa berdarah yang berkembang di masyarakat kala itu.
Berdasarkan cerita masyarakat pada saat terjadinya letusan Gunung Krakatau, ditempat itu ada seorang janda atau Randa yang tertinggal alias kari dalam bahasa Jawa Banten.
Saat itu janda tersebut mengalami pemerkosaan atau penyurungan dalam bahasa Jawa Banten.
Ada juga Situ Rawa Arum atau Kelurahan Rawa Arum. Situ Rawa Arum ada di Kelurahan Rawa Arum, Kecamatan Grogol menjadi bagian dari sejarah Gunung Krakatau, sebelum meletus ada kampung di sana bernama tegalega dan setelah meletus kampung tersebut menjadi danau dalam bahasa lain Situ atau Rawa.
Baca Juga: 10 Pantun tentang Isra Miraj 2024, Cocok Jadikan Caption di Medsos Secara Gratis
Nama Arum sendiri karena di Situ atau Rawa tersebut ditumbuhi bunga putih yang harum alias teratai Nymphaea Alba.
Selanjutnya, ada Kampung Keramat di Kelurahan Tegal Ratu, dimana Masyarakat sebagian besar mengenal nama tersebut karena adanya makam keramat di Kampung Keramat, Kelurahan Tegal Ratu, Kecamatan Ciwandan.
Makam itu dipercayai adalah makam salah satu santri yang pulang kampung usai meletusnya Gunung Krakatau. Namun, saat di perjalanan mengalami perampokan dan dipenggal.
Ironisnya sang perampok adalah ayahnya sendiri. Diketahui adalah anaknya usai sang istri atau ibu dari santri itu mengenali bungkusan sarung yang dibawa suaminya yang diketahui itu milik anaknya.
Makam itu dinamai makam keramat karena jasad anak dikubur tanpa kepala, seiring berjalanya waktu dan cerita Kampung itu akhirnya dinamai Kampung Keramat.
Baca Juga: KONI Kabupaten Serang Butuh Bus untuk Sarana Transportasi Atlet Berlomba
Berikutnya, Kampung Kebanjiran di Kelurahan Kubang Sari, adanya Kampung Kebanjiran di Kelurahan Kubang Sari, Kecamatan Ciwandan menjadi salah satu daerah yang juga erat kaitannya dengan meletusnya Gunung Krakatau 1883.
Dinamai Kebanjiran karena saat meletusnya Gunung Krakatau wilayah tersebut terjadi banjir.
Terakhir adalah Kampung Cigading di Kelurahan Tegal Ratu, saat Gunung Krakatau meletus beberapa daerah disapu gelombang laut atau tsunami setinggi 36 meter.
Lambat laun usai peristiwa bencana besar itu masyarakat mulai menyebar untuk membuka pemukiman.
Salah satunya di Kampung Cigading yang daerahnya menurut cerita memiliki sumber air yang keluar dari batu besar dan airnya berwarna putih gading.
Baca Juga: Polres Serang Buru Pembuang Bayi di Ciruas, Babinkamtibmas Dikerahkan
Hal itu pada akhirnya membuat kampung itu disebut Cigading dimana Ci merupakan bahasa Sunda yang artinya air dan gading atau tulang yang menggambarkan simbol warna putih dari air. (***)

















